UAN Diulang: PEROSALAN PENTINGKAH?
Akhir-akhir ini, berita yang menarik dan bahkan tidak kalah menarik dengan berita tentang Prita maupun tentang Pilpres juga berita tentang perselisihan hasil Pemilihan Legislatif, yakni adalah berita tentang UAN yang diulang di beberapa daerah dan di beberapa sekolah. Bahkan kalau boleh dikatakan, persoalan UAN yang diulang tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pemerintah atau para pejabat yang mengaku dirinya sebagai wakil rakyat yang berjuang untuk menciptakan kehidupan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik. Hal ini kiranya perlu mendapat perhatian khusus, karena yang menjadi focus keterkenaan akan peristiwa ini adalah anak-anak, mereka adalah usia yang rentan terhadap dampak negative dari peristiwa tersebut. Usia mereka adalah usia yang dalam proses pembentukan diri, mencari jati diri dan usia belajar dengan menyerap dari apa yang mereka lihat, dengar dan alami. Bila ternyata dalam usia mereka, mereka sudah mengalami peristiwa dampak negatif dari UAN di ulang, padahal menurut mereka hal itu bukan karena perbuatan mereka, itu tentunya akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan kepribadian mereka, yang tentunya bisa berdampak negative yang tidak dengan sendirinya dan mudahnya untuk dilupakan, karena hal itu menjadi salah satu bagian dari sejarah hidup mereka. Akibat negative dari peristiwa itu mempengaruhi hidup mereka, dan tidak dapat diolah dengan baik, tentu akan berdampak pada masa depan mereka. BIla hal ini terjadi, siapakah yang akan merasakan dampaknya? Tentu bukan hanya diri mereka sendiri, tetapi juga bangsa kita sendiri, karena mereka adalah bagian dari generasi bangsa ini. Namun nampaknya pihak terkait kurang memperhatikan dampak dari peristiwa tersebut, mereka para pemegang kuasa hanya dengan gampang memberi alasan dan mengatakan UAN diulang, bahkan dengan ‘kewibawaan’ yang semu mengatakan bahwa barang siapa yang tidak mengikuti UAN ulang atau UAN susulan, mereka dianggap tidak lulus. Wah kalau sekiranya mereka itu setelah terpilih atau diangkat untuk memangku jabatan mereka, dan ternyata ada proses pemilihan ulang lagi, apakah mereka akan menerima begitu saja? Protes, keberatan dll adalah hal yang manusiawi.
SEKILAS ALASAN UAN DIULANG
Secara singkat dikatakan beberapa alasan UAN diulang yakni:
1. Di beberapa sekolah temukan dan terbukti beredarnya kunci jawaban soal-soal ujian.
Fakta ini mungkin memang terjadi, ada kunci jawaban yang ditemukan dari siswa peserta ujian dan mungkin juga ada yang ditemukan dari pihak sekolah atau pendidik. Kalau ini alasannya, mungkin tetap bila UAN di ulang di tempat dimana ditemukan kunci jawaban soal. Namun meskipun demikian, tidak segampang itu persoalannya, karena masih ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan:
a. Apakah semua siswa yang mendapat kunci jawaban?
Mungkin saja tidak semua, siswa yang mempersiapkan diri dengan baik dan siswa yang berprestasi tentu tidak terlalu membutuhkan kunci jawaban itu, kalaupun mungkin dia mendapatkannya, bisa saja karena desakan atau tawaran pihak pihak lain. Dengan demikian, bijaksanakah bila UAN diulang untuk semua siswa?
b. Kunci Jawaban beredar.
Siapa yang membocorkannya dan mengedarkannya? Tentu bukan siswa tetapi kalangan yang berkompeten untuk hal itu.
c. Mengapa beredar?
Seringkali alasannya dikatakan Karena nilai standard kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah ‘sangat’ tinggi. Sehingga pihak sekolah yang merasa tidak mampu memenuhi nya berupaya agar para anak didiknya semuanya lulus, sebab kalau tidak pihak sekolah akan mendapatkan sanksi, misalnya: Pihak sekolah dianggap tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, bisa saja akhirnya mereka dimutasikan, dll. Pertanyaan kita: Apakah penetapan nilai standard nasional kelulusan itu sudah memenuhi prinsip keadilan?
2. Ditemukan Indikasi Kecurangan.
Alasan ini menarik, karena dikatakan adanya indikasi kecurangan, entah itu kunci jawaban yang beredar, atau pihak sekolah membantu para siswa mengerjakan soal-soal. Bahkan seringkali dikatakan maupun ditemukan bahwa indikasi kecurangan ini dilaksanakan dengan cara terencana, dikoordinir oleh pihak sekolah atau pihak-pihak tertentu, yang tentunya bukan siswa. Kalaupun hal ini terjadi, perlu direnungkan kembali menapa sampai terjadi? Tapi yang namanya indikasi berate masih berupa preasumsi, praduga, belum terbukti. Nah, bila masih dalam status demikian, apakah UAN ulang merupakan keputusan yang bijaksana?
3. Lembar Jawaban Siswa tidak bisa dipindai atau dibaca alat ‘canggih’.
Hal ini alasan yang sangat menarik. Dikatakan bahwa banyak lembaran jawaban siswa tidak bisa dibaca alat canggih yang sudah dipersiapkan. Dalam hal ini kita tidak usah mempersalahkan siapa-sipa, tetapi kita renungkan, mengapa bisa terjadi:
a. Bisa saja alatnya yang rusak atau kurang dipersiapkan dengan baik.
b. Bisa saja ada kekeliruan dalam bahan-bahan yang digunakan saat ujian, sehingga tidak dikenal oleh alat canggih tersebut.
c. Mungkin saja ada kekurangan informasi kepada pihak sekolah maupun pihak siswa dalam hal tata cara ujian atau menjawab soal. Dll.
Tetapi dalam kenyataan, alasan ini menjadi salah satu sebab diadakan UAN ulang. Apakah ini tindakan yang terbaik? Karena bisa saja dan memang terbukti, bahwa banyak anak berprestasi, yang yakin mampu menjawab soal-soal dengan baik mereasa dirugikan. Kalau memang alat tidak bisa membaca lembaran jawaban, kan bisa dikoreksi dengan cara manual? Mengapa cara manual tidak diambil sebagai jalan keluar dari persoaln ini? Tentu pasti akan banyak alasa: misalnya dikatakan tidak ada waktu cukup banyak untuk mengoreksi, tidak ada tenaga, dan tidak ada anggaran untuk menggaji para pengoreksi secara manual. Setiap pertanyaan, memang selalu ada alasan atau jawaban dan setiap orang pasti mencari dan mengupayakan alasan dan jawaban.
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Pemerintah telah menentukan standard kelulusan nasional. Hal ini baik, demi melahirkan generasi bangsa yang berpendidikan dan perpribadi baik tentunya. Tetapi apakah hal itu sudah mempertimbangkan prinsip keadilan?
a. Sarana dan Prasarana yang Penunjung
Sekolah yang sarana dan prasarana sudah baik, tentunya standard kelulusan yang ditentukan pemerintah bukanlah menjadi soal, mereka akan bisa memenuhinya, bahkan mungkin melebih yang telah ditentukan. Tetapi bagaimana dengan sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang ada di pedesaan dan pelosok-pelosok?
Siswa, orang tua siswa dan juga pihak sekolah tentu menyambut baik tujuan pemerintah dalam menentukan nilai standard kelulusan yang dengan asalan untuk meningkatkan mutu pendidikan, mereka tentu mengharapkan agar anak-anak mereka dapat memenuhinya. Namun bagaimana sekolah-sekolah yang di pedesaan dan pelosok bisa memenuhi tuntutan tersebut, karena mereka tidak memiliki sarana dan prasarana yang menunjang untuk itu, misalnya saja:
- Gedung sekolah aja sudah mau roboh. Hal ini membuat para siswa belajar tidak konsentrasi, tidak nyaman karena wanti-wanti gedung roboh.
- Ada pula sekolah yang lahannya masih dipinjam dari orang tertentu, dan ada pula yang biaya pembangunan Gedung sekolah belum lunas dibayar kepada pihak pemborong. Ini fakta yang kita tonton TV dan baca di berita Koran bahwa ada sekolah yang digusur dan disegel maupun meubelnya diambil pemborong karena belum dilunasi.
- Dari segi perlengkapan yang perlu untuk pendidikan yang katanya mau bermutu, juga masih sangat kurang di sekolah-sekolah yang ada di pelosok maupun pedesaan.
Persoalan di atas tentu juga menjadi persoalan bagi sebagian besar sekolah swasta yang ada di pedesaan atau pelosok. Seringkali ada suatu pemikiran bahwa sekolah-sekolah swasta adaah tanggungjawab yayasan atau pemilik, karena mereka mendapat masukan dari siswa. Tentu pemikiran ini tidak selamanya benar, karena tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah swasta di pedesaan dan pelosok, visi dan misinya bukan untuk mencari laba, tetapi pelayanan. Tapi hal ini seringkali luput dari parhatian sehingga tidak menjadi suatu pertimbangan untuk juga mendapatkan subsidi.
b. Para Guru bekerja sambilan. Mengapa?
Dahulu orang mengatakan bahwa menjadi guru adalah suatu kebanggan dan sangat dihormati. Namun sekarang tidak jarang dikatakan bahwa menjadi guru berarti siap miskin, menderita, melarat dan dicemooh. Mungkin kita pernah mendengar bahwa ada guru yang mengojek sepulang mengajar di sekolah. Ada pula guru yang juga jadi pemulung. Memang hal ini memprihatinkan, karena mereka tidak lagi terpusat pada satu profesi, yakni sebagai guru. Bahkan kadang sulit dibedakan apakah orang demikian profesinya guru atau seorang pemulung atau tukang ojek? Kita tidak bisa dengan gampang mempersalahkan mereka, karena bila gaji mereka telah mencukupi untuk biaya hidupnya dan keluarganya, tentu mereka tidak akan melakukan hal tersebut.
Salah satu alasan yang dikatakan dengan kenentuan nilai standard kelulusan nasional adalah katanya agar para guru sungguh-sungguh serius dalam bidangnya untuk mendidik para siswa. Kata orang-orang pintar itu, banyak guru sekarang yang digaji tapi mengajar asal-asalan. Umumnya orang berpikir dan menilai hanya pada yang terjadi, tidak mencoba melihat mengapa hal itu terjadi. Saya yakin para guru sekarang pintar-pintar, tidak kalah jauh dengan para guru zaman dahulu? Tetapi mengapa secara sepintas mereka demikian? Tentu ada alasan yang mendasar dan perlu manjadi bahan permenungan bersama, yakni kesejahteraan guru yang belum memenuhi standard hidup layak. Mungkin syair lagu Iwan Fals yang berjudul OMAR BAKRI masih berkumandang di seantero nusantara ini. Sebagaimana dalam syair dikatakan bahwa guru mendidik para sarjana, para politikus dan menjadikan siswa ‘hebat’, namun setelah anak didik mereka berhasil, anak didik banyak yang melupakan mereka dan bahkan dikatakan gaji mereka yang kecilpun juga kena sunat. Banyak anak didik yang lupa bahwa mereka berhasil juga terutama karena perjuangan para guru mereka. Guru mendidik, menjadikan para sarjana, para politikus dan orang-orang hebat. Namun sepertinya, orang-orang hebat itu tidak bisa mendidik dan menjadikan guru, dalam arti memperhatikan para guru. Hebatan mana, apakah para guru atau orang-orang hebat tersebut?
c. Sekolah gratis
Sudah lama dikumandangkan bahwa sekolah gratis, bahkan sering para politikus dalam kampanye mengkampanyekan hal tersebut. Di satu sisi hal itu bagus, menguntungkan para siswa terutama dari kalangan ekonomi lemah. Namun sekolah gratis juga suatu dilema, dan membutuhkan suatu permenunan mendalam yang walaupun tentunya jatuh pada keputusan minus malum. Beberapa hal yang kiranya dapat dipertanyakan, misalnya: Sekolah gratis itu untuk siapa saja, apakah juga berlaku untuk anak orang kaya yang ada disekolah tersebut? Wah, gak adil dong. Apkah sekolah gratis juga ditunjang dengan meningkatkan kesejahteraan para guru? Sebab jujur-jujur saja, biaya tambahan yang dikutip dari para siswa (tidak begitu banyak dan tidak sampai membuat para guru jadi kaya raya dan orang tua siswa jadi menderita kelaparan), ini sangat membantu menambah masukan bagi para guru karena gaji yang mereka terima belum sesuai. Dengan sekolah gratis, bisa saja berarti tidak ada lagi pemasukan tambahan bagi para guru. Ini berakibat, lagi-lagi para guru bisa mencari objek lain, kerja sampingan lain. Hal ini mungkin bisa teratasi bila sekolah gratis juga sejalan dengan peningkatakan gaji guru.
SIAPA YANG PEDULI?
Mari kita simak pertanyaan di atas: Siapa yang peduli dengan UAN di ulang dan juga atas semua permasalahan maupun permenungan di atas?
Akibat negative dari semua persoalan sehubungan dengan pendidikan adalah para siswa, yang nota bene mereka adalah generasi penerus dan penentu bangsa kita. Namun adakah yang memberi perhatian secara lebih mendalam?
a. Nampaknya hal UAN diulang kalah penting dengan berita Prita, berita Perselisihan partai atau para caleg dalam memperebutkan kursi, apalagi jauh dikalahkan oleh berita PILPRES. Apakah bisa dikatakan bahwa masalah pendidikan atau UAN diulang hanya masalah sangat kecil, sepele, buang-buang waktu untuk mengurusinya?
b. Mungkin ada juga yang prihatin, mau mengurusi masalah UAN diulang dan masalah pendidikan lainnya. Tapi apakah dengan kesungguhan, atau hanya sekedar numpang mampir atau numpang lewat aja?
c. Para calon Presiden dan Wakil Presiden, apakah sudah ada yang memberi perhatian akan hal ini?
b. Bagaimana dengan sekolah-sekolah, siswa-siswa, juga SEKOLAH-SEKOLAH KATOLIK yang tidak terkena akan UAN ulang, apakah juga memberi perhatian akan persoalan ini? Kalau juga prihatin dan memberi perhatian, sejauh mana, atau hanya sekedar numpang lewat aja?
MARI KITA RENUNGKAN BERSAMA dan BERBUAT SESUATU!!!