Perayaan Ekaristi telah selesai. Namun semangatnya ternyata tak pernah boleh selesai. Dan tibalah giliran umat untuk pergi mengabarkan Kabar Gembira merambah pelosok dusun, mewartakan Kristus lewat pergaulan sosial.
Penyusunan sejarah masuknya Agama Katolik di Dairi merupakan usaha rekonstruksi dari perjalanan semangat umat bersama dengan gembala Gereja. Para pendahulu -yang dengan berbagai situasi mencekam- akhirnya berhasil menegakkan tonggak gereja di daerah Dairi. Oleh karena itu penyusunan sejarah ini bukanlah sekedar sistematisasi-kronologis peristiwa berdirinya gereja atau stasi, karena jika demikian halnya, maka tulisan ini hanyalah catatan mati yang kurang bisa meniupkan nafas semangat Injil dari para pendahulu kita.
Sebagaimana adanya sejarah adalah suatu kisah yang membungkus perjuangan, pengorbanan, semangat dan sekaligus harapan dari suatu perjalanan yang telah lewat, yang tengah berlangsung maupun yang harus tetap berkesinambungan. Sejarah Gereja Katolik di Dairi juga merupakan kisah yang bergerak sejak tahun 1936 di belakang kita dan akan terus bergerak tanpa mengenal batas waktu, wilayah dan spektrum persoalannya.
Penyusunan ini bukan berarti menutup selesainya sebuah sejarah, tetapi untuk mengumpulkan kisah-kisah yang berserakan sejak tahun 1936, sehingga menjadi landasan yang kokoh untuk pengembangan di masa-masa mendatang. Demi kesinambungan sejarah itu sendiri. Itulah salah satu tujuan dari penulisan ini. Rentang waktu sejak tahun 1936 sampai saat ini, bukanlah kurun waktu yang singkat. Perjalanan yang panjang itu sarat dengan derita “pengorbanan”, perjuangan sekaligus harapan; saat-saat awal yang penuh tantangan, silih berganti para gembala gereja di internis dan dipenjarakan. Gereja di segel dan di non-aktifkan oleh penguasa, dipergunakan untuk keperluan Dai Nippon. Para guru Sekolah Katolik dan Porhanger harus hijrah dari satu tempat ke tempat lain untuk membangun semangat Kristiani yang tak lain adalah Roh Gereja itu sendiri.
Sepertinya mustahil –menurut perhitungan akal sehat- kalau Gereja yang saat itu sangat kecil, merangkak dan baru memulai misinya, tetap bisa hidup dan bertahan terhadap goncangan, tekanan dan hambatan yang sungguh berat. Namun ternyata penyelenggaraan Ilahi meyakinkan kita bahwa dalam perjalanan awal itupun Kristus tetap hadir menyertai kita.
Dan ungkapan “Ite Missa est vel benedicamur in Nomine Domini” (Pergilah dalam damai Tuhan, Misa telah usai) adalah kata kunci landasan gerak Gereja, perlahan tapi meyakinkan, bahwa karya penyelamatan Kristus tak akan pernah berhenti. Bukan kita lagi yang hidup, melainkan Dia yang hidup di dalam kita.
I. BABAK AWAL MISI KATOLIK MENUJU SIDIKALANG (1934-1938)
Pematang Siantar telah menjadi pusat penyebaran misi Katolik. Dari sini tampak pula perkembangan pesat menuju daerah Simalungun. Apalagi dengan semakin banyaknya permintaan pelayanan pastoral dari kalangan orang Batak sendiri, sehingga pemerintah waktu itu tidak bisa menolak lagi, untuk memberi ijin pengembangan misi Katolik (17-02-1932). Akhirnya peraturan pemerintah Belanda pasal 123 (177) boleh dikatakan dicabut kembali pada tanggal 12-08-1933 setelah secara resmi dikeluarkan ijin perambatan misi Katolik di seluruh daerah Batak.
Selain itu di daerah-daerah pedalaman, dusun (kampung) di daerah Dairi sebenarnya sudah tersebar pula orang Katolik. Mereka belum mengelompok. Hal itu dapat terjadi karena ada perpindahan penduduk dari Samosir, Humbang, Sumatera Timur dan Simalungun. Kehadiran mereka ini sambil membawa bibit Iman yang baru ke tempat di mana mereka berdomisili. Khususnya ke arah Kota Sidikalang, sebagai pusat distrik Dairi (yang kala itu termasuk wilayah Tapanuli), kehadiran para pegawai ini sungguh memberikan warna baru.
Tepatnya pada bulan Januari 1938 datanglah seorang Katekis dari Siantar ke Sidikalang. Katekis ini bernama Johanes Sihombing. Beliau datang ke Dairi untuk memberikan Pelajaran Agama Katolik kepada umat Katolik yang sekalipun belum berkumpul tetapi Jiwa ke-Katolik-kan mereka tidak luntur. Perintisan yang diawali oleh katekis tersebut memberikan angin segar, sekalipun tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi. Lambat laun, namun pasti, terbentuklah perkumpulan-perkumpulan, dari sini muncullah gereja darurat. Tak berapa lama kemudian, tanggal 28 Pebruari 1938, datanglah Pastor Cl. Hammers OFM Cap ke Dairi. Kedatangan tersebut mendapat sambutan meriah di Sitinjo. Penyambutan disertai tor-tor dan Gondang Sabangunan, suatu hal yang sangat luar biasa saat itu. Kedatangan Pastor Cl. Hammers menjadi sejarah bagi Gereja Sidikalang dan Distrik Dairi pada umumnya. Sidikalang dijadikan pusat pelayanan pastoral. Pastor Cl. Hammers inilah peletak dasar Gereja Katolik di Dairi sekaligus sebagai Pastor Paroki Pertama Dairi. Permandian pertama di Dairi terjadi tanggal 26 September 1938. Sebelumnya semua catatan Paroki berikut administrasi ditangani Gereja Katedral Medan.
Pastor Cl. Hammers untuk sementara waktu bertempat tinggal di sebuah rumah kecil yang disebut HOOFD SCHOOLOP. Tidak lama kemudian, Pastor Cl. Hammers memperoleh sebuah gedung sekolah yang belum selesai dibangun sebanyak empat lokal di Jl. Lae Parera (sekarang Jl Pakpak). Selanjutnya bangunan itu dibagi dua bagian, sebagian untuk rumah pastor dan sebagian lagi untuk Gereja.
Misi Katolik ini terus berlanjut disertai usaha pengembangan lewat pendidikan umum. Tenaga pendidik diperoleh dari para guru tamatan Leergang dan Sekolah Guru Katolik (Cursu Volks Onderwijzer = CVD) dari Belanda.
II. MASA PERAMBATAN MISI KATOLIK DI DAIRI (1938-1942)
Babak baru yang sudah dimulai, pada tahun 1934 mulai menampakkan wujudnya. Sidikalang sebagai pusat karya pelayanan pastoral disertai gerak langkah membentuk perkumpulan atau pertemuan Umat Katolik. Gereja darurat sudah didirikan berkat kerja gotong royong umat sendiri. Tahun 1940 bangunan Gereja darurat sudah muncul pula di Parongil berkat bantuan para katekis pendahulunya. Tanggal 08 Mei 1941 Pastor Cl. Hammers datang ke Parongil dan mengadakan permandian. Dulunya permandian selalu dilayani oleh Katekis.
Catatan penting: Untuk periode ini, pada tanggal 23 Desember 1941, Vikariat Apostolik Padang secara resmi pindah tempat ke Medan dengan sebutan baru VIKARIAT APOSTOLIK MEDAN.
III. MASA PERJUANGAN (1942-1954)
Karya misi tidak terlepas dari situasi jaman yang ada. Bulan April 1942 pecah perang dunia II. Kekalahan Belanda atas Jepang waktu itu sangat mempengaruhi Misi Katolik. Perkembangan misi sampai ke daerah-daerah atau kampung-kampung yang mulai tampak buahnya saat itu tiba-tiba terhenti. Tenaga Pastor diputus hubungannya dengan umat. Akibatnya pemeliharaan rohani umat berkurang. Beruntung masih ada Para Katekis. Tenaga para katekis sangat besar peranannya di tengah umat. Katekis melanjutkan kesinambungan karya misi Gereja.
1. Masa Penahanan Para Pastor oleh Jepang (1942-1945)
Karena tenaga misionaris pada saat itu dari Belanda, maka kekalahan Belanda dari Jepang saat itu sangat dirasakan pengaruhnya. Banyak misionaris yang ditangkap, demikian juga Pastor Cl. Hammers yang saat itu berkedudukan di Sidikalang. Beliau ditangkap dan dimasukkan dalam kamp di Tarutung.
Karya misi Katolik yang baru melangkah, sekarang harus kehilangan gembalanya. Situasi serba sulit. Untuk melanjutkan karya kegembalaan di daerah Dairi, diangkatlah Bapak SMA Sihombing, seorang katekis, menjadi pemimpin. Tugas utama yang harus diembannya adalah memelihara dan menjaga segala infentaris Gereja dan menggalang persatuan umat. Katekis ini untuk sementara menempati rumah Pastor.
Ketika masa penahanan Pastor Cl. Hammers memasuki bulan keenam, Jepang mengadakan pemeriksaan atas segala infentaris Gereja. Katekis SMA Sihombing tidak diperkenankan tinggal di rumah Pastor; beliau lalu pindah ke Botik Horbo dan tetap menjalankan tugas sebagai katekis. Tetapi pelayanan Gereja di Sidikalang tidak dapat dilaksanakan oleh Bapak SMA Sihombing.
Kesulitan tidak boleh menghentikan karya, maka atas mufakat anggota Gereja, ditunjuklah Bapak H. Lumbantobing sebagai porhanger di Sidikalang kota menggantikan Bapak SMA Sihombing. Sejak tanggal 1 Januari 1943 Rumah Ibadat dipindahkan dan kegiatan hari Minggu –untuk sementara waktu- diadakan di rumah H. Lumbantobing.
Tanpa diduga sebelumnya, Jepang yang mengadakan pemeriksaan atas barang-barang infentaris Gereja akhirnya menangkap juga Bapak SMA Sihombing untuk dimintai pertanggung jawaban. Penahanan atas diri beliau terjadi sekitar tahun 1943-1944. Selama masa penahanan tersebut Umat Katolik di Sidikalang mengalami ketakutan dan kekalutan. Ada juga yang berusaha untuk pindah agama, tetapi pada akhirnya kesetiaan pada gereja Katoliklah yang menang.
Kesulitan membawa pemikiran baru, usaha-usaha untuk mencari tenaga katekis dari luar Dairi mulai dicoba. Bapak H. Lumbantobing selaku wakil umat mulai mencari hubungan dengan Balige, Kutacane dan Pematang Siantar untuk mendapat tenaga katekis.
Usaha ini akhirnya terwujud. Datanglah Bapak K. Hutabarat dari Pematang Siantar. Tugas yang harus dipikulnya adalah mengangkat salah seorang guru yang dicalonkan menjadi Katekis. Atas musyawarah anggota pengurus Gereja se-Dairi ditunjuklah Bapak Daniel Kudadiri dari Sitinjo sebagai calon katekis. Dasar penunjukkan karena D. Kudadiri sudah lama menjadi guru dan Sintua yang sangat rajin di Huria sejak tahun 1938. Maka D.Kudadiri dipersiapkan untuk diresmikan. Tak lama kemudian, datanglah katekis Bapak JB Panggabean dari Balige untuk meresmikan. Namun karena alasan tertentu akhirnya D.Kudadiri tidak bersedia untuk dilantik. Akibatnya, wakil Dairi tetap kosong, belum ada katekis. Sebagai tindak lanjut dari peristiwa itu Bapak JB Panggabean tetap melaksanakan tugas keliling daerah dan mempermandikan umat Sidikalang dan sekitarnya.
Kekuasaan Jepang mulai memaksakan pembentukkan Majelis Tinggi Agama masehi Tapanuli. Untuk maksud ini pemerintah Jepang meminta supaya ada utusan dari setiap paroki yang duduk di majelis ini. Bapak H. Lumbantobing terpilih mewakili umat se-Dairi dan duduk di dalam majelis ini. Tugas rangkap diembannya karena sejak 12 Desember 1944 dia juga bertugas sebagai wakil katekis. Melihat beratnya medan pastoral maka diadakanlah pembagian wilayah kerja. Daerah Parongil dipercayakan kepada Bapak H Siburian dibantu oleh Liberti Sianturi. Merekalah yang membantu kelangsungan Gereja di daerah.
2. Masa Kemerdekaan (1945-1947)
Selepas kekuasaan Jepang di tanah air, Umat Katolik di Dairi kembali mencoba mengadakan kegiatan kembali. Guru-guru lulusan CVO (Cursus Volks Onderwijzer) yang menjalani pendidikan 2 tahun di Balige ada yang menjadi katekis dan sekaligus pegawai negeri.
Situasi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia belum seluruhnya aman. Banyak misionaris pada tahun 1945 yang ditahan lagi oleh Inggris. Apalagi saat itu di Tapanuli muncul Gereja perjuangan yang mengakibatkan situasi tidak aman. Tentara Inggris dan Belanda melarang para Pastor memasuki daerah Toba, Dairi dan Nias. Kegiatan misioner waktu itu hanya diperbolehkan di Padang, Medan, Pematang Siantar dan Tanjung Balai. Pada situasi yang demikian muncul Partai Kristen Indonesia yang disponsori oleh tokoh-tokoh HKBP. Banyak wakil Katolik yang masuk ke dalam partai ini.
Karena situasi yang kurang menguntungkan dan para Pastor Belanda tidak bebas bergerak, maka pimpinan awam di Tapanuli mendesak pimpinan Gereja di Medan untuk mengambil tindakan. Atas usaha dan permintaan Mgr. Brans akhirnya diadakan kontak dengan Jawa. Pada tahun 1947 Mgr. Soegiyopranoto dari Semarang mengutus Pastor Sutopanitro SJ ke daerah Republik di Tapanuli. Pada bulan Mei 1947 tibalah Pastor Sutopanitro di Sumatera Utara.Selama tiga bulan Pastor Sutopanitro mengunjungi semua paroki. Kunjungan ini besar artinya bagi Sidikalang. Tanggal 22 Jnui 1947 tibalah beliau di Sidikalang dan diadakan pertemuan di rumah Bapak H. Lumbantobing (Jl. Gereja) bersama dengan tokoh-tokoh gereja Katolik se-Dairi, Kepala jawatan / Dinas se-Dairi, dan tokoh partai se-Dairi. Pertemuan ini sangat berkesan bagi para pengurus gereja.
Pertemuan tersebut menunjukkan kesadaran baru bagi Umat Katolik Dairi, bahwa mereka tidaklah sendirian. Pertemuan membuahkan semangat baru. Semangat juang dari para katekis juga belum pudar. Bahkan tanggal 22 Mei 1946 tercatat kehadiran Bapak Petrus Datubara dari Kutacane (Aceh Tenggara) yang juga ikut serta membantu Umat Katolik di Dairi.
Menginjak tahun 1948 Gereja Katolik Sumatera Utara mendapat bantuan dengan datangnya utusan dari Jawa. Pastor A. Poedjohandojo, Pr dikirim dari Jakarta dan mendapat tugas selama 8 bulan. Pastor ini melaksanakan tugas pastoral di daerah yang masih dilarang untuk dimasuki misionaris. Pastor ini sempat juga ke Sidikalang dan menerimakan Sakramen permandian. Pada tahun yang sama pindahlah Bapak Ch Sinaga, tokoh umat Katolik Sidikalang ke Pandan, karena diangkat menjadi kepala sekolah di sana. Perpindahan ini justru membawa kegembiraan bagi Pandan khususnya maupun umat Katolik pada umumnya, sebab Gereja darurat bertambah lagi menjadi 4 lokal, yaitu di jalan Lae parera.
3. Masa Kebangkitan Hidup Iman Umat (1947-1954)
Berakhirnya masa penjajahan Jepang membuka kembali harapan penyebaran Agama Katolik di Dairi. Pastor Cl. Hammers yang sudah dibebaskan dari tahanan di Tarutung, tidak langsung kembali ke posnya di Sidikalang. Baru tahun 1950 Pastor Cl. Hammers ke Sidikalang dan selama beberapa bulan tinggal di rumah Bapak H Lumbantobing. Selanjutnya direncanakan pembuatan rumah untuk tempat tinggal Pastor dan bangunan 6x9 meter sebagai gereja pertama. Bangunan gereja ini kemudian hari menjadi tempat tinggal Pastor sampai sekarang.
Inilah wajah bangunan Gereja Paroki Sidikalang
yang pertama kali dibangun tahun 1950. Gambar ini diambil tahun 1955. Tampak Pastor Stefanus Krol OFM Cap dan Pastor S.A. Kamphof OFM Cap
Kemajuan rupanya juga dialami oleh beberapa daerah dengan dibukanya beberapa stasi. Tahun 1949 dibuka Sumbul Jehe sebagai buah pewartaan Injil. Pada tahun 1951 dibuka kembali Lae Markelang sebagai stasi. Tahun berikutnya dibuka Lae Garut, Lae Mbereng dan Bulu Duri (1952). Mengapa terjadi kebangkitan yang demikian?
Karena, sekembalinya Pastor Cl. Hammers dari tahanan beliau ditemani seorang pastor dalam karya Pastoralnya, yaitu Pastor A.Kamphof OFM Cap. Dengan kedatang Pastor Kamphof di Sidikalang tahun 1951, karya pelayanan di Dairi semakin maju. Tak lama kemudian datang juga Pastor Stephanus Krol OFM Cap (tahun 1952)
Kemajuan karya misi Katolik sampai juga ke Parongil. Tahun 1953 telah dibuka stasi Batu Dongkol, Sopobutar, Sukandebi dan Tumpakraja. Gerak maju ini menyebabkan suatu pemikiran baru: “apa yang harus di buat untuk memudahkan karya pelayanan?”
Karena di parongil makin banyak stasi, akhirnya diambil kebijaksanaan untuk membentuk suatu pusat pelayanan baru. Parongil dijadikan pusat kedua setelah Sidikalang. Secara resmi Parongil terpisah dari Sidikalang dan menjadi paroki sendiri pada tanggal 1 Mei 1954. Pastor A. Kamphof ditunjuk menjadi Pastor Paroki Parongil, yang saat itu membawahi 18 stasi. Sidikalang sendiri saat itu memiliki 23 stasi.
Tahun 1954, kesehatan Pastor Cl. Hammers mulai terganggu, sehingga karya pelayanan hari Minggu di Sidikalang sering harus dilaksanakan porhanger H.Lumbantobing dibantu Bapak Theodorus Lumbangaol. Pastor Cl. Hammers sendiri akhirnya harus diopname di RS Elisabeth, Medan untuk beberapa lama. Namun demikian, karya misi tidak melemah, tetapi terus berjalan dan berkembang.
IV. MASA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN (1954-1965)
Masa perjuangan dilewati Gereja dengan suka dan duka. Karya misi Katolik pun tidak berhenti dalam bidang pembinaan iman umat saja, tetapi juga ingin menyumbang bagi perkembangan pendidikan di Sidikalang dan sekitarnya. Karya pendidikan merupakan gerak seiring sejalan dengan derap kemajuan di bidang pastoral.
Sebenarnya karya pendidikan oleh gereja lewat jalur pendidikan formal sudah mulai tahun 1938, yaitu dengan dibukanya SD. Namun tidak dapat dilanjutkan karena tenaga guru kurang memadai. Sekitar tahun 1938-1942 pernah dijajaki pembukaan sekolah setingkat SD, meski hanya sampai kelas dua. Namun itu tidak dapat dilanjutkan.
Usaha memajukan pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Sekolah SD (yang waktu itu disebut: Sekolah Rakyat) sudah ada. Maka Pastor Paroki mendirikan SMP untuk menampung anak-anak Dairi. Usaha ini ternyata bisa dilaksanakan. Tanggal 1 Agustus 1956 didirikanlah bangunan SMP St.Paulus yang dimulai dengan 100 siswa. SMP St. Paulus ini sangat membantu dalam karya pengembangan misi Katolik. Banyak murid dari pelosok datang ke Sidikalang dan akhirnya diusahakan adanya asrama, yang menampung anak-anak dari desa. Selanjutnya SMP St. Paulus bernaung di bawah Yayasan Pendidikan “BHAKTI MENGABDI”. Patut dikenang jasa Pastor Krol dalam pembangunan gedung SMP yang dimulai dengan 3 lokal, dan yang kemudian segera dirasa perlu untuk ditambah lagi.
Umat Katolik di Sidikalang kota semakin banyak, apalagi pendatangpun semakin banyak. Gedung Gereja sudah tidak sanggup lagi menampung. Maka Pastor Paroki mengusahakan dana untuk mempersiapkan bangunan gereja yang baru. Pada tahun 1956 –dengan perencanaan matang- dimulailah pembangunan gereja yang berukuran besar, yaitu 12x24 meter. Model bangunannya dibuat mengikuti gaya rumah adat batak Toba sesuai dengan lingkungan tanah Batak. Pembangunan gereja baru ini memakan waktu tiga tahun, dan pada tahun 1959 bangunan telah selesai, lalu diberkati. Pemberkatan Gereja oleh Mgr Van Den Hurk OFM Cap pada tahun 1959.
Bangunan Gereja Paroki Sidikalang yang kedua, s
etelah selesai dibangun dan diberkati o
leh Mgr. A.H Vd. Hurk OFM Cap
pada tahun 1959
Tenaga Pastor silih berganti datang dan pergi dalam mengembangkan karya pastoral di Dairi. Pastor Van Stralen, Pastor R. Ressens, Pastor Pennock, Pastor Kramer kesemuanya adalah Pastor Kapusin.
Perkembangan tidak hanya dialami oelh Paroki Sidikalang, tetapi juga Parongil. Menjelang meletusnya pemberontakan G 30S PKI pada tahun 1965, jumlah stasi yang ada di Dairi mencapai 88 stasi.
V. MASA PENGALIHAN TUGAS DARI KAPUSIN KE KARMEL (1965-SEKARANG)
1· Masa Transisi
Bahaya adanya pemberontakan PKI terhadap RI sangat terasa di kota Malang – Jawa Timur. Ordo Karmel –dalam situasi itu- mengambil langkah memindahkan para Frater Tingkat Teologi dari Malang ke Pematang Siantar. Tempat pendidikan tingkat Teologi ini kemudian merupakan langkah awal perkenalan dengan Ordo Kapusin yang telah lama berkarya di Keuskupan Agung Medan. Pembicaraan antara pimpinan Keuskupan Medan dengan Pimpinan Ordo Karmel membuahkan keputusan, bahwa Ordo Karmel menerima Daerah Dairi sebagai wilayah kerjanya. Maka mulailah Ordo Karmel berkarya di Dairi.
2· Pengalihan Tugas dari Kapusin ke Karmelit
Pembicaraan dengan penjajagan cukup jelas. Kesinambungan karya pastoral dari Kapusin ke Karmelit, yang tidak bisa dilepas dari konteks pengembangan gereja dan misinya di daerah Dairi. Tak lama kemudian, pengoperan tugas berlangsung. Ordo Karmel pun mulai menangani wilayah Dairi pada tahun 1965.
Tenaga Karmelit mulai berdatangan. Pastor Q. Kramer O.Carm menggantikan Pastor Krol di Sidikalang. Sedangkan Pastor R. Ressens OFM Cap yang waktu itu bertugas di Parongil digantikan oleh Pastor van Wanroij O.Carm. Tidak lama kemudian datanglah Pastor A. Hutten O.Carm dan Pastor J. Kachmadi O.Carm memperkuat karya pelayanan di Sidikalang.
Adanya beberapa tenaga di pusat Sidikalang menimbulkan harapan baru akan bertambahnya stasi yang dibuka. Dengan meletusnya G30S/PKI banyak umat baru yang masuk dan mulai memeluk agama Katolik. Karena stasi-stasi menjadi makin banyak, akhirnya dibukalah paroki baru dengan pusatnya di Tigalingga pada tanggal 21 Nopember 1965. Pemisahan ini dimulai secara bertahap melalui jalur administrasi Buku Permandian. Baru pada tahun 1967 Tigalingga secara resmi berdiri sendiri.
Pembagian lapangan kerja pastoral ini demi efisiensi tugas para pastor. Tahun 1965 ini sekaligus merupakan saat perkembangan bagi karya pastoral dibidang pendidikan. Tidak lama setelah kedatangan para Karmelit, menyusul datang Para Suster dari Kongregasi St. Yosef (KSSY) yang berkedudukan di Medan ke Sidikalang. Para Suster ini sementara tinggal di rumah R. Ujung di sebelah Gereja, mereka melayani karya kesehatan dan sekolah. Tanggal 1 Agustus 1965 berdiri Sekolah Dasar yang telah lama dirintis. SD yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Bhakti Mengabdi diberi nama SD St. Yosef. Sr. Yosephine Batubara adalah Kepala Sekolah SD St. Yosef yang pertama. Sekolah ini memiliki murid 150 anak untuk kelas 1 dan 2 masing-masing dengan kelas paralel A dan B.
3· Pembukaan Paroki Baru (1967-1968)
Tigalingga merupakan paroki yang baru secara resmi berdiri saat itu. Tahun 1967 Pastor J. Kachmadi O.Carm menjadi Pastor Paroki di sana. Paroki ini memiliki 24 stasi, sedangkan umatnya terdiri atas suku Karo, Toba dan Pakpak. Selanjutnya menyusul para Karmelit lainnya, yaitu: pastor AJ Soedibjo O.Carm dan Pastor Fredericus Kasmono O.Carm.
Setelah Tigalingga dibuka, menyusul dibuka pula Paroki Sumbul Pegagan pada tahun 1968. Paroki baru ini memisahkan diri dari wilayah Sidikalang dan mulai berdiri sendiri dengan 23 stasi sebagai daerah karya pelayanan pastoralnya. Pastor Paroki pertama di Sumbul adalah Pastor Q. Kramer O.Carm (meninggal di Malang tahun 1976). Paroki Sumbul yang dirintis oleh Karmelit Indonesia ini selanjutnya diambil alih oleh Para Karmelit Australia. Lalu berangsur-angsur kembali lagi ke Karmelit Indonesia tahun 1982.
Karmelit Australia yang pernah membantu di Sumbul, yaitu: Pastor RA Scerri O.Carm. Pada tahun 1969 Para Karmelit diserahi tugas oleh pihak Keuskupan Medan untuk menangani sebuah paroki di kota Medan. Maka Pastor B. Peper O.Carm merintis pembukaan paroki baru di Medan, yaitu Paroki St. Paulus, Pasar Merah yang terpisah dari wilayah paroki Katedral Medan.
4· Gereja ke Arah Swadaya Umat
Gaung Konsili Vatikan II membawa banyak perubahan dan pembaharuan di dalam Gereja. Wajah Gereja makin dekat dan menjemaat. Karya pendidikan melengkapi karya misi Katolik di Dairi. Tahun 1985 dibuka SMA Cahaya yang dikelola Yayasan Seri Amal. SD St.Yosef dan SMP St. Paulus yang dulunya dikelola Yayasan Bhakti Mangabdi dioperkan kepada Yayasan Seri Amal mulai tahun 1970. Taman Kanak-kanak St. Maria yang sebelumnya menempati bangunan SD St. Yosef menempati bangunan sendiri sejak tanggal 4 Agustus 1968.
Karya pelayanan kepada umat juga meningkat dengan dibukanya karya pertukangan. Karya pertukangan ini dimulai oleh Br. Otto Flapper O.Carm yang membantu penggantian bangunan gereja-gereja darurat menjadi bangunan permanen atau semi-permanen. Karya besar ini tampak misalnya Bangunan gereja Paroki Sumbul yang mengambil model rumah adat Pakpak Dairi, yang jarang kita jumpai saat ini.
Karya pertukangan mendorong umat menyadari arti pembangunan Gereja di stasi-stasi, yang tidak mungkin hanya mengandalkan bantuan keuskupan saja. Umat juga harus ikut serta membangun. Peran serta pemuka umat makin tampak seiring gerak Keuskupan Agung Medan: GEREJA MENJEMAAT.
Karya pertukangan ini membantu juga pembangunan gereja-gereja lain di wilayah Dairi, yang dinilai cukup memadai dengan situasi sosial-ekonomi umat Dairi.
Arah pendewasaan iman umat dibina juga melalui kursus-kursus dan sermon yang dilakukan melalui peran pemuka jemaat. Pembinaan ini tidak bisa diabaikan seiring dengan laju derap kemajuan dan perkembangan masyarakat. Gereja mempunyai misi utama yaitu mendewasakan iman umat serta mengamalkannya demi pembangunan manusia seutuhnya.
Tentang Baptisan, Baptisan yang pertama kali diadakan tanggal 26 September 1938 di Ranto Din (?) oleh Pastor Cl. Hamers OFM Cap. Lalu sempat kosong beberapa saat.
Selain Pastor, ada juga beberapa nama yang dalam periode ini juga ikut menerimakan sakramen baptis. Mereka itu antara lain:
Yohanes Sihombing (Sidikalang)
Karim Napitupulu (Jumasiulok)
Daniel Kudadiri (Parongil)
Pastor Sb Bagasan (nama paroki/tempat/stasi?)
Andi Matanari (Sitinjo, Juli 1939)
Iskander Panjaitan (Sitinjo, Juli 1939)
Pastor Panei (Nama apa?)
Karel Silaban (Sitinjo Juli 1939)
Bismar Situmorang (Sitinjo, Maret 1940)
Reksa Kudadiri (Sitinjo, Maret 1940)
Sintua Yustin Silaban (Huta gerah, Oktober 1940)
Gr J.A. Poerba (Sibaubau, Juni 1940)
Manatar (Jumasiulok, Agustus 1940)
SMA Sihombing (Silalahi, Maret 1939)
Pandita Kenan Hutabarat (diperbantukan di Dairi dari Pematang Siantar)
Pandita YB Panggabean (April 1945 sampai tahun 1947, Meliputi: Tigalingga, Parongil, Binara, Jumasiulok, Sidikalang. Beliau ini adalah seorang Katekis)
Pandita Petrus Datubara (katekis juga yang diperbantukan dari Kutacane)
5.Ada lagi Pastor lain yang juga bertugas sementara:
Pastor Soetapanitra (Sidikalang, Juni 1947)
Pastor Poedjohandjojo (Silalahi, Desember 1947)
Pastor Brans (April 1949)
Pastor Reinders (Juni 1949)
Hal yang menarik dan merupakan suatu sejarah besar bagi Gereja Katolik di Dairi khususnya di paroki Sidikalang, yakni baha di stasi Kaban Julu ada terdapat makam Pastor Koning O.Carm. Latar belakangnya adalah karena Pastor Koning O.Carm pada bulan Juli 1972 mengalami sakit peradangan perut dan beliau meninggal di dolok malangir dalam perjalan menuju pengobatan ke Medan. Jenasah beliau tidak mungin dibawa ke Belanda maupun ke Malang untuk dimakamkan di sana. Maka jenasah beliau dibawa kembali ke Sidikalang. Namun mengingat bahwa Ordo Karmel di Sumatera Utara belum mempunyai pemakaman untuk anggota Ordo karmel, maka jenasah belaiu rencananya hendak dimakamkan di tanah kompleks paroki Sidikalang, anmun pihak Marga Tanah (tuan tanah) tidah mengijinkan hal tersebut karena dianggap akan membawa sial. Oleh karena itulah beliau dimakamkan di tanah pemakaman Gereja stasi di stasi Kaban Julu. Menurut keterangan pengurus stasi, bahwa seringkali keluarga Pastor Koning O.Carm berjiarah ke makam tersebut, hamper setiap 3 tahun sekali dan pernah hendak membawa jenasah belaiu ke Belanda karena khawatir tidak akan di urus. Karena para umat di stasi tersebut berjanji akan mengurus makam tersebut, sehingga jenasah Pastor Koning tidak jadi dibawa ke Belanda. NAMUN SEJAK TAHUN 2000 PIHAK KELUARGA PASTOR KONING DARI BELANDA TIDAK PERNAH LAGI BERKUNJUNG HINGGA SAAT INI. Walaupun demikian, umat tetap merawat makam beliau.Setelah sempat kosong beberapa saat, lalu tanggal 5 Juni 1950 Pastor Cl. Hamers kembali. Pada tanggal 27 Nopember 1951 di Tigalingga, Baptisan dilaksanakan oleh Pastor Kamphof OFM Cap. Jadi sejak itu ada 2 pastor di Paroki Sidikalang, yaitu: Pastor Cl. Hamers dan Pastor Kamphof.
27 Juli 1952, Pastor Cl. Hamers terakhir kali membaptis di Paroki Sidikalang. Juni 1953 di Silalahi dan Kabanjulu baptisan dilakukan oleh Pastor Steph Krol OFM Cap. Rupanya lalu Pastor inilah yang bertugas di Paroki Sidikalang.
Selama tahun 1962, Pastor yang membaptis ada yang bernama P. Remigius Pennock.
VI. PAROKI SIDIKALANG HINGGA SAAT INI
Seiring dengan perjalanan waktu, wilayah Gereja Paroki yang semula hanya merupakan sebuah perkampungan kecil, jumlah penduduknya semakin bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk dan kemajuan juga berdampak pada penambahan umat Katolik. Bangunan Gereja yang di bangun dan diresmikan tahun 1959 yang pada waktu zamannya merupakan bangunan yang megah dan cukup besar untuk menampung jumlah umat dalam beribadah akhirnya tidak dapat menampung jumlah umat yang bertambah banyak. Bangunan Gereja tersebut sebanarnya dirancang untuk jangka waktu yang sangat panjang. Bangunan tersebut sangat kokoh dengan rancang bangun tahan gempa, namun pada akhirnya Bangunan Gereja yang dibangun tahun 1959 tidak lagi dapat menampung jumlah umat.
Oleh karena itulah, pastor dan umat sudah sejak tahun 1995 mencoba memikirkan untuk mereha dan memperluas bangunan Gereja agar dapat menampung umat. Rehap dan perluasan bangunan Gereja dirasa sangat mendesak pada waktu itu, karena seringkali umat beribadah terpaksa harus di luar atau malah menjadi alasan tidak ke Gereja karena memang tempat tidak muat. Mungkin di koa-kota besar solusi atas persoalan tersebut yakni dengan mengadakan 2 kali perayaan ekaristi pada hari Minggu. Solusi tersebut sulit diterapkan mengingat bahwa para pastor juga harus melayani umat di stasi lain pada hari minggu. Artinya sehabis perayaan ekaristi di paroki, pastor langsung pergi ke stasi lain untuk merayakan ekaristi bagi umat di stasi. Ada juga alas an lain yang mendorong paroki untuk merehap dan memperbesar bangunan Gereja, juga itu termasuk ketiadaan biaya apabila merombak total bangunan Gereja dengan membuat bangunan baru yang lebih besar. Untuk mewujudkan harapan di atas, paroki mencoba menggalang dana dari umat, namun hingga 5 tahun perencanaan penggalangan dana, dana yang terkumpul belum memadai dan tidak sesuaid dengan harapan karena ekonomi umat yang umumnya orang-orang sederhana.
Pada tahun 2002 Pastor Ignatius Joko Purnomo O.Carm bersama Dewan Pastoral Paroki mencoba hendak mewujudkan harapan yang sudah direncanakan selama 5 tahun. Paroki mencoba mempelajari upaya rehap dan pelebaran bangunan. Pada waktu itu berdasarkan hasil pembelajaran dari pihak Pertukangan Keuskupan diperhitungkan bahwa biaya rehap dan pelebaran menelan biaya ratusan juta tetapi penambahan daya tamping tidak seberapa. Juga dari hasil pembelajaran ditemukan bahwa rehap dan perluasan bangunan Gereja justru malah akan mengurangi kekokohan bangunan Gereja. Atas pertimbangan itu maka Pastor Ignatius Joko O.Carm bersama Para Pengurus Gereja memutuskan bahwa paroki bukan lagi merehap bangunan tetapi membangun bangunan baru yang lebih besar. Maka dengan penuh keyakinan akan rahmat Tuhan, paroki mulai merencanakan dan akhirnya pada pertengahan bulan Desember 2002 diadakan peletakan batu pertama pembangunan Gereja hanya dengan bermodalkan uang kontan Rp. 25.000.000,- padahal bangunan yang direncanakan pada waktu itu sekitar miliyaran rupiah. Mungkin orang berpikir itu adalah pekerjaan nekat. Tetapi paroki penuh keyakinan bahwa Allah yang memulai, Allah yang menghendaki dan Allah pula akan membantu dalam penyelesaiannya, selain itu paroki yakin akan semangat partisipasi dana dari umat dan kerelaan umat untuk memberi bantuan tenaga, saling membantu yang diwujudkan dengan gotong royong. Lokasi banguna baru terpaksan di tempat bangunan lama, karena ketiadaan lokasi yang cukup, sehingga bangunan Gereja lama yang masih lumayan megah harus dibongkar. Saat Bangunan lama dibongkar, banyak umat khususnya yang tua-tua begitu terharu dan bahkan sampai meneteskan air mata, mereka ingat bagaimana perjuangan mereka membangunan Gereja lama pada tahun 1959, dan bangunan itu terpaksa harus dibongkar dan dirubuhkan.
Sejak peletakan batu pertama, pembangunan berjalan dengan system dikerjakan sendiri bukan diborongkan kepada pemborong. Umat paroki bahu membahu dalam upaya pembangunan. Selama pembangunan berlangsung, umat beribadah di ‘Gereja darurat’ selama 2 tahun dan selama 2 tahun lebih beribadah di bangunan baru yang belum selesai.
Pada Desember 2004, Pastor Ignatius Joko O.Carm ditarik oleh Ordo Karmel dan ditugaskan ke Paroki Maria Bunda Karmel Tomang Jakarta padahal waktu itu bangunan masih tahap dinding bangunan. Sebagai pastor Paroki dan kelanjutan pembangunan dipercayakan kepada Pastor Antonius Manik O.Carm, yang memang sudah 2 tahun di Sidikalang sebagai pastor pembantu. Saat itu beliau masih 4 tahun ditahbiskan tetapi sudah dipercayakan untuk menjadi pastor kepala di paroki yang wilayah yang cukup luas, terdiri atas 43 stasi yang tersebar di 3 kabupaten: kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Aceh Selatan. Walaupun demikian, Pastor Ignatius Joko O.Carm yang sudah pindah tugas ke Jakarta tetap membantu pembangunan yakni dengan mencari donator. Dalam pembangunan Gereja tersebut.
Berkat rahmat Tuhan, kerja keras paroki dan dukungan para donator, pembangunan Gereja berjalan, Bangunaneja yang belum sempurna tetapi sudah layak untuk ditempati akhirnya diberkati oleh Uskup Agung Medan Mgr. A.G. Pius Datubara Ofm.Cap pada hari Raya Kristus Raja 26 November 2006.
Pastoran
Pastor Antonius Manik O.Carm