SALAM MARIA PENUH RAHMAT, TUHAN SERTAMU. TERPUJILAH ENGKAU DI ANTARA WANITA, DAN TERPUJILAH BUAH TUBUHMU YESUS. SANTA MARIA BUNDA ALLAH, DOAKANLAH KAMI ORANG YANG BERDOSA INI, SEKARANG DAN WAKTU KAMI MATI. AMIN.

HABITUS BARU : PENGAJARAN AGAMA KATOLIK

HABITUS BARU
DALAM PENGAJARAN AGAMA KATOLIK
(Tulisan ini diberikan pada Pmebinaan Guru-Guru Agama Katolik se-Kabupaten Dairi di Aula Paroki Sidikalang, yang diselenggarakan Bimas Katolik Kabupaten Dairi )

PENGANTAR
Manusia diciptakan oleh Allah secitra dengan diriNya. Manusia memiliki martabat luhur dan merupakan ciptaan Allah yang khusus, berbeda dari semua ciptaan yang ada. Pada hakekatnya hal itu dilakukan oleh Allah adalah Allah ingin berbagi kebahagiaan dengan manusia. Allah ingin agar kebahagiaan yang menjadi milikNya juga dinikmati oleh manusia. Kebahagiaan ini hanya ada padaNya. Dengan demikian manusia akan beroleh dan menikmati kebahagiaan itu sejauh dan bila manusia tetap hidup dalam kesecitraan dengan Allah, menyatu dengan yang menjadikannya.
Namun sejak manusia dijadikan dan hingga sekarang dalam perkembangan zaman kesecitraan manusia dengan Allah sering dipertaruhkan dan dirongrong oleh kemajuan zaman. Perkembangan dan kemajuan zaman bukan tidak dikehendaki Allah, Allah menghendakinya karena itulah Ia menjadikannya jauh melebihi semua ciptaan dan untuk itulah Allah memberikan kuasa bagi manusia untuk menata ciptaan lain diluar dirinya. Namun kemajuan itu seringkali menjauhkan manusia dari citra yang telah melekat dalam dirinya sejak dijadikan, manusia mulai menjauh dari kebahagiaan sejati yang hanya ada pada Allah. Dalam situasi demikian, citra Allah yang ada dalam dirinya berusaha mencari sesuatu yang mulai kabur atau merangkak menjauh dari dirinya, yakni manusia selalu mencari kebahagiaan tersebut. Untuk itu manusia belajar dalam hidupnya, entah itu dari pendidikan formal maupun informal. Pada intinya, manusia belajar dan bekerja adalah untuk mencari dan meraih sesuatu yang sudah sejak dahulu ada dalam dirinya, hanya pencarian dan jalan yang ditempuh oleh manusia seringkali keliru. Kemajuan zaman yang seharusnya memerdekakan manusia tetapi justru ‘memenjarakan’ manusia dalam beroleh kebahagiaan hidup.
Dalam upaya pencarian tersebut, manusia belajar dan menyelenggarakan pendidikan. Semua pendidikan berusaha membantu manusia keluar dari keterbelengguan ketidaktahuan. Romo Mangunwijaya mengatakan bahwa pendidikan itu hendaknya memerdekakan manusia. Pendidikan memerdekakan manusia pada dasarnya untuk menghantar, menuntun manusia pada satu tujuan yang menjadi milik bersama, ada dalam diri setiap orang yakni kebahagiaan hidup. Namun sebenarnya pendidikan yang lebih secara khusus bahkan melebihi semua bidang pendidikan yang mencoba memberi jawaban atas pencarian manusia itu adalah bidang PENDIDIKAN AGAMA/IMAN. Mengapa demikian? Karena kebahagiaan sejati hanya ada pada Allah. Pendidikan Agama pada hakekatnya bertujuan untuk menghantar orang pada iman akan Allah, memberi jawaban atas pencarian yang ada dalam hidup terdalam manusia. Hanya persoalannya, apa ini suatu kenyataan yang disadari atau hanya sebagai ide belaka?

HABITUS BARU
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada Mei 2009 melihat keterpurukan manusia yang mulai menjauh dari Allah, yangmana itu berarti kemajuan zaman dan pengaruhnya secara pelan-pelan tetapi pasti menjauhkan manusia dari Allah, mengarahkan manusia pada jalan pencarian yang keliru. Oleh karena itulah, Gereja menyerukan suatu Gerakan Bersama dalam Gereja Katolik yakni HABITUS BARU: membangun, menghayati dan mewartakan gaya hidup baru yang sesuai dengan hakekat manusia sesuai dengan citranya yang telah dimiliki sejak awal, yang sudah dimeteraikan dalam dirinya. Gerakan ini sebenarnya bukan hal baru, sebenarnya adalah suatu seruan agar manusia kembali pada citranya. Dikatakan Habitus Baru atau gerakan baru adalah karena kebiasaan yang buruk itu sudah lama ‘mencengkeram’ hidup manusia, sehingga hal itu dianggap seakan sudah menjadi lumrah, bahkan dianggap udah menjadi kodrat manusia, padahal sebenarnya tidak, karena tidak ada manusia yang diciptakan jahat sejak awal, Allah tidak menghendaki hal demikian. Dengan seruan Gerakan Baru ini, diharapkan bahwa manusia suka akan hal yang baru, gerakan baru ini menjadi suatu tawaran yang menarik bagi manusia, tawaran yang bersaing dengan produk-produk buatan dunia.
Sidang SAGKI mengajak dan mengarahkan yang baru itu pertama-tama dalam diri manusia atau gerakan itu pertam-tama ditujukan kepada diri manusia itu sendiri, dari situ baru pasti akan melangkah dan berbuah pada perbuatan juga buah dari perbuatan itu akan menghasilkan hal yang baru. Seruan Gerakan Habitus Baru ini ditujukan untuk semua umat Katolik. Seruan ini sudah berlangsung selama 4 tahun. Tetapi apakah sudah menjadi gerakan bersama dalam hidup, atau hanya selogan yang indah untuk di dengar? Apakah sudah menampkan hasilnya? Bagaimana dengan kita: apakah sebagai guru agama yang seharusnya lebih mempopulerkannya sudah menghayatinya dan sudah tampak dalam Pengajaran Agama Katolik sudah dalam bentuk habitus Baru? Atau hanya masih sebatas didengar dan ide belaka?

MELANGKAH MENUJU HABITUS BARU
Seruan Habitus Baru bukanlah suatu seruan yang sekali dikatakan, dan sekaligus jasi. Tetapi seruan gerakan Habitus Baru merupakan suatu proses terus menerus sepanjang hidup. Oleh karena itulah hidup kita ini sepanjang hidup merupakan suatu gerakan melangkah secara terus menerus untuk menuju Habitus Baru, apalagi sasarannya adalah pribadi manusia yang punya kehendak. Nah atas dasar inilah, kita hendak mencoba melihat bagaimana kita bisa melangkah pada Habitus Baru dalam Pengajaran Agama Katolik di sekolah. Perlu diingat, dalam bagian ini kita tidak akan berbicara tetang metode-metode pembelajaran yang sesua dengan Habitus Baru, karena hal itu sudah kita dengar dari penyaji sebelumnya. Namun semuanya itu akan tetap sebagai metode yang indah bila kita tidak menghayati Habitus Baru.
Oleh karena itu, kita mencoba melihat kira-kira apa saja yang perlu kita upayakan dan miliki agar kita bisa mencoba hidup dalam Habitus Baru.

1. Kesadaran Diri

a. Kesadaran diri sebagai Makhluk Secitra dengan Allah

Kesadaran ini yang dimaksudkan di sini adalah menyadari diri sebagai ciptaan Tuhan yang diciptakan secitra dengan Tuhan, yang dikasihi Tuhan dan sebagai ciptaan berharga. Dalam dunia pendampingan anak didik, hal ini sering disebut dengan pengenalan diri, dan sering disebut dengan materi ‘Who am i’.

- Habitus lama
Mungkin mendengar hal ini kita berpikir, ‘Wah hal ini sepele, karena tidak mungkin sudah besar dan menjadi guru agama pula tetapi belum memiliki kesadaran diri yang mantap?’ Boleh jadi kita sudah menyadarinya dan menghayatinya, tetapi sekali lagi ini bukan proses sekali jadi. Sama halnya beriman kepada Allah bukan produk sekali jadi tetapi proses yang berlangsung sepanjang hidup. Mungkin saja kits sudah sedikit banyak memiliki kesadaran diri, tetapi apakah sudah tampak dalam perilaku dan pengajaran kita? Misalnya saja, mungkin kita bisa berkata-kata atau mengajar Agama Katolik kepada para siswa kita, tetapi apakah kita berani seluwes mengajar kepada anak didik ketika kita diminta mengajar anak didik dari keluarga kaya, atau orang yang lebih dewasa, lebih kaya secara ekonomi dan lebih perpangkat di bandingkan kita? Sikap hidup yang merasa tidak perlu lagi merenungkan siapa dirinya, akan jatuh pada kesombongan diri, bahkan kesombongan rohani.

- Habitus Baru
Banyak orang hidup tidak dengan kesadaran penuh akan dirinya sebagai citra Allah, yang dikasihi Allah dan berharga di hadapan Allah. Mari kita menyadari dan menghayati hal ini. Kesadaran dan penghayatan akan hal ini, akan menjadikan kita memiliki moldal dasar untuk mengembangkan diri, karena kita tahu apa yang kurang yang harus kita tambahi dan kita tahu apa yang kita miliki yang harus kita pertahankan dan kembangkan. Kesadaran dan penghayatan ini juga membuat kita memiliki modal awal untuk berani hidup dan berhadapan dengan orang lain. Kesadaran ini pulalah yang hendak kita tanamakan dalam diri anak didik kita.

b. Kesadaran diri sebagai Makhluk ber-Tuhan

Kesadaran ini juga dapat kita sebut sebagai kesadaran diri sebagai orang yang beriman, orang yang membutuhkan Allah dalam hidup.

- Habitus lama
Sekarang ini banyak orang juga kadang para pendidik Agama kurang menyadari dirinya adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Banyak orang merasa dirinya bukan makhluk Tuhan yang membutuhkan Tuhan dalam hidupnya, merasa Tuhan tidak lagi berperan dalam hidupnya, melihat hidup ini semata-mata bisa dijalani dengan mengandalkan usaha, kerja keras dan keberanian menantang resiko kehidupan. Akibat dari semuanya ini akan tampak dari sedikitnya aktivitas orang juga kita sebagai guru agama dalam membangun dan menjalin relasi dengan Allah. Kita menjalani hidup ini sebagai sebagai rutinitas belaka. Oleh karena itulah, tidak jarang para guru Agama, tidak akhif dalam hidup menggereja.

- Habitus Baru
Kita menyadari bahwa diri kita adalah makhluk ciptaan Tuhan, kita adalah makhluk beriman. Dengan kesadaran ini kita selalu menghayati bahwa hidup kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bersama dan dengan bantuan rahmat Tuhan. Oleh karena itu kita akan memandang hidup ini sebagai rahmat, berkat Tuhan dan berusaha menjalin relasi dengan Dia yang telah mengaruniakan hidup, sehingga kita menjalani hidup bukan karena rutinitas, tetapi sebagai kesempatan indah yang diberikan Sang Pemberi hidup. Habitus Baru juga berarti sebagai guru Agama, aktif dalam hidup menggereja, memiliki hidup doa, melandasi hidup dalam doa, bahkan melebihi umat pada umumnya. Dengan dilandasi kesadaran ini, kitapun hendak menanamkan kesadaran ini kepada anak didik dan kepada siapapun kita berelasi dan berinteraksi.

c. Kesadaran Diri akan Pekerjaan

- Habitus lama
Pandangan umum mengatakan bahwa pekerjaan adalah ekspresi diri, wujud dari pernyataan diri. Namun dalam kenyataannya, sekarang ini banyak orang yang tidak demikian, pekerjaan dilihat hanya sebagai mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan badani, hanya sebagai gengsi. Hidup yang demikian membuat orang pasti tidak akan pernah menikmati pekerjaannya dan tidak akan pernah puas dengan hasil kerjanya. Mungkin saja, sekarang ini banyak guru agama menjadi guru agama karena faktor: hanya untuk mencari pekerjaan untuk kebutuhan hidup, hanya karena tidak bisa mengambil jurusan atau pekerjaan lain, dll.

- Habitus Baru
Allah memberi tugas dan tanggungjawab yang sama kepada manusia, yakni untuk berperan aktif dalam hidup untuk mempertahankan hidup yang baik sebagaimana hakekat awalinya, hanya memang peran masing-masing berbeda-beda sebagaiman setiap orang mendapat karunia yang berbeda-beda tetapi semuanya untuk kebersamaan (1Kor 12:1-31). Hidup dalam habitus baru, berarti memandang dan menghayati bahwa hidup sebagai guru Agama adalah mendapat karunia khusus. Mengapa kita pandang sebagai karunia khusus? Kita percaya bahwa Tuhan mengutus para murid yang dipanggilNya, juga diutus untuk mewartakan iman akan Allah kepada semua orang (mat 28:19). Semua murid mendapat perutusan yang sama dalam dan lewat seluruh hidupnya, tetapi guru agama tentu mendapat kesempatan dan peluang yang lebih karena itulah yang menjadi pekerjaannya. Pekerjaan dilihat sebagai kesempatan lebih untuk lebih mengyahati panggilan untuk bersatu dengan Tuhan. Seperti para murid setelah pergi mejalankan perutusan, mereka juga kembali kepada Yesus (Lukas 10:17, dan persatuan dengan Yesus itulah yang menjadi tujuan hidup manusia. Guru Agama hendaknya tidak hanya mencekoki anak akan hal-hal ilmu Agama Katolik, tetapi juga berusaha bahwa apa yang diajarkan juga dihayati oleh anak didik. Dengan kata lain, pekerjaan sebagai guru Agama tidak dilihat dandihayati tidak hanya sekedar untuk mencari nafkah, tetapi kesempatan yang istimewa untuk kesucian diri dan ambil bagian dalam tiga tugas Kristus yakni sebagai raja, imam dan nabi. Dengan kesadaran ini, juga kesadaran-kesadaran di atas, para guru Agama tidak lagi merasa pesimis bahwa Agama itu barang langka yang kalah bersaing dan tidak dibutuhkan dalam hidup sekarang ini, justru sebenarnya punya nilai jual yang tingki karena berkenaan dengan kerinduan fundamental manusia.

d. Kesadaran diri akan Anak Didik

- Habitus Lama
Kenyataan yang ada yakni sering para guru melihat anak-anak didik adalah objek, bukan pribadi
yang secitra dengan Allah. Tidak sedikit Guru Agama yang menganggap anak didik hanya semacam ruang kosong yang perlu diisi dengan ilmu agama.

- Habitus Baru
Anak didik juga manusia ciptaan secitra dengan Allah, yang dikasihiNya dan juga dipanggil olehNya untuk bersatu dengan Dia. Dengan kesadaran ini, sangatlah tepat bila guru agama dengan pelajaran Agama, anak-anak merasakan suatu kenyamanan , menjadi oase penyegaran diri, karena sekarang ini banyak anak-anak tidak nyaman dalam hidupnya. Mengapa demikian, situasi, kehendak orang tua dan guru-guru bidang studi lain, anak-anak dicekoki dengan tugas-tugas berat dan kewajiban-kewajiban banyak, tidak ada lagi kesempatan untuk merenungkan diri, membina pribadinya. Pendidikan Agama menjadi peluang dan tempat bagi anak didik, untuk menemukan apa yang hilang dari dirinya.

Demikianlah kiranya beberapa hal yang bisa kita lihat dan usahakan dalam mencoba menghayati gerakan Habitus Baru yang diserukan oleh SAGKI.

2. Membuka Diri
Umumnya orang sulit untuk membuka diri, karena sudah merasa nyaman dengan dirinya apa adanya, orang tidak ingin mengetahui dirinya yang sebenarnya, orang tidak mau orang lain mengetahui dirinya siapa adanya, orang sulit untuk berubah meskipun hal itu untuk kebaikan dirinya dan orang lain. Membuka diri yang saya maksudkan adalah keberanian untuk kembali melihat diri sendiri, kembali kepada diri sendiri dan hakekat awalinya. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah merenungkah hidup setiap saat dan kemauan untuk belajar dan berubah. Tanpa semuanya itu, sia-sialah kitanya berbicara tentang habitus baru, tentang metode-metode pangajaran dan semua yang kita pelajari untuk pengajaran. Membuka diri menuntut suatu sikap kerendahan hati. Beberapa habitus lama yang kita lihat di atas, itulah tantangan dan sekaligus peluang bagi guru Agama untuk Habitus Baru dalam Pembelajaran Agama Katolik. Sebagai orang yang menghayati Habitus Baru, kita hendaknya yang pertama memulainya. Gerakan Habitus Baru bermula dari diri sendiri tuk menuju habitus baru dalam hidup bersama.

PENUTUP

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 menghimbau kepada semua umat katolik Indonesia agar hidup dalam Gerakan Habitus Baru. Seruan ini mengajak kita untuk memperbaharui hidup dan kembali kepada hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan. Seruan itu tentu dengan tujuan untuk menuju hidup bersama yang lebih baik lewat suatu gerakan bersama. Seruan itu ditujukan untuk semua umat dengan segala aspek kehidup, karya dan status. Mari kita juga Guru-Guru Agama Katolik mengajar pelajaran Agama Katolik dengan hidup Habitus Baru.

Sidikalang, 22 Juni 2009
P. Antonius Manik O.Carm


0 komentar:

Posting Komentar

VISITOR

free counters

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites