IMAN KATOLIK DI ACEH SELATAN
Mungkin banyak umat katolik tidak pernah berpikir apakah ada umat katolik ada di daerah Serambi Mekkah Aceh? Atau bagaimana keberadaan umat katolik di sana?
Kalaupun mungkin sudah ada yang pernah berfikir dan tahu, di sini kami akan berbagi pengalaman soal keberaaan Umat Katolik di salah satu sudut Serambi Mekkah yang dilayani oleh paroki Maria Pertolongan Orang Kristen Sidikalang.
Paroki Sidikalang melayani 3 Stasi yang berada di wilayah Aceh Selatan yakni Stasi Beato Redemptus dan Dionisius di Penanggalan Subulussalam, Stasi Mandumpang dan stasi Penutungan di Penanggalan. Selain itu 1 stasi yakni Stasi Sibagindar memang berada di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat tetapi akses untuk menmpuh stasi tersebut harus melalui aceh selatan karena belum ada jalan dari kabupaten Pakpak Bharat untuk sampai ke stasi tersebut.
Ditinjau dari segi wilayah, ke 3 stasi di atas sebenarnya ada dalam wilayah teritorial Keuskupan Sufragan Sibolga, masuk dalam pelayanan paroki Manduamas. Namun karena akses dari paroki Manduamas menuju ke stasi tersebut masih sulit, lebih gampang dari paroki Sidikalang, maka atas permintaan paroki Manduamas, paroki Sidikalang diminta untuk melayani ke 3 stasi tersebut. Hal ini juga disebabkan karena pastor di Manduamas adalah orang Barat, jadi rasanya sulit bebas untuk melayani ke stasi tersebut, butuh pengawalan pihak aparat keamanan, sedangkan pastor di paroki Sidikalang adalah orang Indonesia, lebih memungkinkan untuk masuk dan melayani ke stasi-stasi tersebut, tidak perlu pengawalan pihak keamanan. Oleh karena itu, perlulah kiranya kita melihat dan mengenal sepintas Saudara-Saudarai Kita sei man yang hidup dan berusaha menghayati iman Katolik mereka di salah satu bagian dari daeah Serambi Mekkah.
SEKILAS TENTANG KE 3 STASI
STASI PENANGGALAN
DATA STASI
1. | Nama Stasi | Penanggalan |
2. | Pelindung Stasi | Beato Dionysius dan Redemptus |
3. | Alamat Stasi | Desa/Kelurahan:Penanggalan;Kecamatan:Penanggalan |
4. | Tahun adanya Katolik | 20 Juli 1957 |
5. | Tahun Berdirinya Gedung Gereja | 10 Februari 1970 |
6. | Luas Tanah/pertapakan | :Panjang : 40 m;Lebar :15 m |
7. | Luas Bangunan | Panjang : 8 m; Lebar : 5 m |
8. | Kondisi Bangunan Gereja | Kayu dengan Lantai Semen |
7. | Luas Bangunan | Panjang : 8 m; Lebar : 5 m |
9. | Jumlah Umat | 31 Kepala Keluarga |
STASI MANDUMPANG
DATA STASI
1. | Nama Stasi | Mandumpang |
2. | Pelindung Stasi | Santo Yohanes Pemandi |
3. | Alamat Stasi | Desa Suka Makmur-Mandumpang |
4. | Tahun adanya Katolik | Tahun 1974 |
5. | Tahun Berdirinya Gedung Gereja | Tahun 1974 |
6. | Luas Tanah/pertapakan | Panjang : 60 m Lebar : 60 m |
7. | Luas Bangunan | Panjang : 7 m; Lebar : 5 m |
8. | Kondisi Bangunan Gereja | Kayu dengan Lantai Tanah |
9. | Jumlah Umat | 14 Kepala Keluarga |
STASI PENUNTUNGAN
DATA STASI1. | Nama Stasi | Penuntungan |
2. | Pelindung Stasi | Santa Teresia |
3. | Alamat Stasi | Desa/Kelurahan:Juma Sampuran; Kecamatan:Penaggalan - Aceh |
4. | Tahun adanya Katolik | Juli 2005 |
5. | Tahun Berdirinya Gedung Gereja | Desember 2008 |
6. | Luas Tanah/pertapakan | 2 hektar |
7. | Luas Bangunan | Panjang : 7 m; Lebar : 5 m |
8. | Kondisi Bangunan Gereja | Kayu dengan Lantai Papan |
9. | Jumlah Umat | 25 Kepala Keluarga |
Sehubungan dengan Stasi Penuntungan ini, dapat Anda lihat dalam file tersendiri. Kalau Anda penasaran klik disini Ketiga stasi tersebut terletak di Aceh Selatan. Jarak tempuh perjalanan naik mobil dari Paroki Sidikalang ke Penanggalan sekitar 2 jam, dari Paroki ke Mandumpang sekitar 3,5 jam, dari Paroki ke Stasi Mandumpang 2 jam naik mobil ditambah dengan 2 jam jalan kaki melewati perkebunan sawit dan hutan.
KEHIDUPAN IMAN DALAM TEKANAN
Gambaran akan kehidupan iman umat katolik di 3 stasi ini, kami coba bagikan lewat menceritakan salah satu Gereja stasi yakni stasi Mandumpang. Karena dari pengalaman di stasi ini, sudah mewakili bagaimana perjuangan umat katolik untuk tetap bertahan dan setia dalam iman Katolik di Serambi Mekkah.
Stasi Mandumpang ini cukup unik. Keunikannya terletak dalam keberadaannya. Bangunan Gereja stasi ini statusnya bukanlah sebagai bangunan Gereja, tetapi dikatakan sebagai rumah yang berada di tengah kebun Bapak Ndelling Cibro. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut tidak dijinkan mendirikan bangunan Gereja. Sebelum bangunan Gereja seperti yang kita lihat di gambar di atas, sebenarnya dahulu sudah ada bangunan Gereja Katolik yang terbuat dari kayu dan letaknya di pertapakan yang dimiliki Gereja. Namun pada tahun 1976 an, bangunan Gereja tersebut dibakar oleh masyarakat. Bangunan Gereja boleh di bakar tetapi iman katolik umat tidak padam. Dari informasi yang kami peroleh, walaupun ada pembakaran Gereja, namun tidak ada umat katolik yang beralih ke agama lain, mereka tetap pada iman Katolik, walaupun sulit merayakan imannya pada hari Minggu. Tidak beberapa lama kemudian, bagunan Gereja dibangun kembali, tetapi bukan di tanah pertapakan bangunan Gereja yang dibakar, tetapi di tanah bapak Ndelleng Cibro. Bapak ini termasuk tokoh yang disegani masyarakat, dia termasuk salah satu orang yang membuka perkampungan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun dilarang mendirikan gedung Gereja, tetapi karena status bapak Ndelling Cibro yang disegani masyarakat, makanya masyarakat diam saja. Gedung Gereja tersebut dibuat sederhana seperti yang sekarang ini dan statusnya dikatakan bahwa itu rumah milik keluarga Bapak Ndelling Cibro yang digunakan untuk berdoa umat Katolik, meskipun pada prinsipnya tanah pertapakan Gereja dan gedungnnya diberikan kepada Gereja.
Demikianlah gedung gereja tetap bertahan dan umat tetap bisa beribadah. Pada Mei 2005 bapak Ndelling Cibro meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, beliau menerima sakramen Perminyakan dan Viaticum dari Pastor Antonius Manik O.Carm yang kebetulan saat itu pelayanan ke daerah tersebut. Misa arwah dan pemakaman beliau langsung dipimpin oleh pastor Antonius Manik O.Carm. Beliau dimakamkan tidak jauh dari lokasi gedung Gereja, juga dengan harapan agar masyarakat tidak mengganggu gereja karena keseganan mereka kepada almarhum. Sepeninggal beliau, Gereja tetap berdiri dan semangat beliau diwarisi oleh umat, para pengurus dan juga anak-anak beliau yang juga menjadi pengurus Gereja stasi.
Sekedar informasi tentang bapak Ndelling Cibro, beliau inilah yang pernah dipukuli hingga babak belur oleh ‘masyarakat’ karena kekesalan mereka terhadap Katolik. Ceritanya, massa menyerbu Gereja Katolik di Manduamas (Aceh Selatan) namun mereka tidak menemukan Pastor Ambrosius Sihombing Ofm.Cap (almarhum). Pastor tersebut didesak oleh umat supaya melarikan diri, meskipun sebenarnya pastor tersebut tidak ingin melarikan diri, rela mati demi mempertahakan Gereja. Mendengar berita yang ada di paroki Manduamas, bapak Cibro menyusul ke sana untuk mengetahui keberadaan pastor Ambrosius, namun akhirnya dialah yang menjadi kekesalan massa yang juga tahu bahwa beliau adalah warga katolik. Beliau dihajar hingga babak belur dan akhirnya ditinggalkan massa karena beliau berpura-pura sudah mati. Setelah itu, beliau dengan merangkat dan tertatih-tatih melalui hutan kembali ke rumahnya menempuh perjalan selama 3 hari. Dari informasi yang dapat dipercaya, dari anak beliau keluarga mereka juga pernah mengungsi dengan berjalan kaki selama 3 hari 3 malam ke pak-pak Bharat juga karena iman mereka. Perjuangan hidup mereka karena iman katolik sungguh mengagumkan, walaupun mendapat tantangan dan bahkan taruhan nyawa, mereka tetap setia pada iman Katolik.
Pada tahun 1996 terjadi lagi tekanan masyarakat atas keberadaan Gereja-Gereja juga termasuk Gereja Katolik. Pada waktu itu ‘pihak pejabat pemerintah’ yang diprakarsai oleh agama tertentu (agama mayoritas), mengundang perwakilan masyarakat dan perwakilan Agama dan Gereja-Gereja. Pada pertemuan tersebut dibuat keputusan bahwa di daerah tersebut hanya dijinkan 5 bangunan gereja yang bisa berdiri. Dalam keputusan itu jelas dikatakan dan yang dimaksudkan adalah bangunannya, bukan dalam arti kelompok Gereja, dan Gereja Katolik tidak termasuk dalam keputusan tersebut. Keputusan tersebut memang tidak adil dan dianggap sepihak karena menurut para perwakilan Gereja-Gereja, mereka ‘dipaksa’ untuk menerima keputusan tersebut. Walaupun sepihak dan tidak adil, pihak wakil Gereja-Gereja tidak bisa berbuat apa-apa. Hasil dari keputusan tersebut, banyak Gereja yang ditutup dan dipaksa di tutup oleh massa. Gereja Stasi Mandumpang tidak mereka sentuh karena pengaruh rasa segan kepada bapak Ndelling Cibro dan stasi Penanggalan juga tidak disentuh karena ada pejabat yang mengatakan bahwa kampung halamannya jangan diributi. Nah kebetulan stasi Penanggalan ada di kampong halaman pejabat tersebut, sehingga Gereja di Penanggalan tetap aman.
Demikianlah sekilas perjalan hidup dan perjuangan iman umat Katolik yang ada di Aceh Selatan. Bila kita lihat dari usia kehadiran Gereja Katolik di sana hingga sekarang dan jumlah umat katolik yang ada hingga sekarang, seakan tidak ada pertambahan atau perkembangan. Hal ini tentu bisa kita mengerti karena situasi tidak memungkinkan. Jangankan untuk bertambah, sedangkan untuk mempertahankan yang sudah ada juga sangat suli. Namun sejauh kami ketahui, dari dulu hingga sekarang belum ada umat yang mundur dan pindah ke agama lain. Kalaupun ada itu karena pernikahan, bukan karena ketakutan bila bertahan dalam iman katolik.
UMAT KATOLIK SEKARANG INI
Umat katolik di Aceh Selatan hingga saat ini masih bertahan, dan ketiga stasi tersebut ada dalam penggembalaan Paroki Sidikalang. Jumlah dan bentuk bagungan gereja mereka seperti gambar yang kami tampilkan di atas. Hingga saat ini mereka masih tetap hidup dalam suatu perjuangan dalam menghayati dan memperjuangkan iman katolik mereka sama seperti sebelumnya, hanya tidak seberat dulu lagi. Mereka sudah sedikit bebas merayakan iman mereka dan pemerintah memberi jaminan akan hal itu. Namun ada peraturan tidak tertulis yang harus ditaati oleh Gereja dan umat, misalnya:
-. Gereja dilarang menggunakan atribut kristiani, misalnya bangunan gereja tidak bisa memakai salib.
-. Gereja dilarang membaptis dan menikahkan penduduk setempat yang bukan Kristen di daerah tersebut. Oleh karena itulah, beberapa kali penduduk setempat yang mau menjadi katolik maupun yang mau menikah dengan orang katolik akhirnya dibaptis maupun dinikahkan di Gereja Katolik Paroki Sidikalang. Paroki dari Banda Aceh juga pernah penitipkan orang non Kristen yang mau dibaptis ke Sidikalang, supaya dibaptis di Sidikalang. Resiko bila melanggar peraturan tidak tertulis ini, gereja akan dibakar.
-. Gedung Gereja tidak bisa diperbaiki apalagi di bangun, harus mendapat ijin dari masyarakat, yang tentu pasti tidak akan mereka ijinkan.
-. Kami juga pernah mengalami bahwa bila hendak masuk ke wilayah tersebut, mobil selalu diperiksa dan dilarang membawa atribut kristiani, bahkan di mbil sekalipun. Makanya biasanya bila hendak masuk daerah tersebut, salib kecil yang ada di dalam mobil kami copot dan simpan.
Peraturan tidak tertulis ini masih tetap berlaku, meskipun tidak seketat dahulu lagi.
Namun pada tahun 2006 tantangan Gereja muncul kembali. Para perwakilan Gereja-Gereja dipanggil dan dikumpulkan oleh pihak tertentu dan pada pertemuan tersebut diungkit kembali kesepakatan yang telah dibuat pada tahun 1996. Alasan yang mengumpulkna dan menegaskan kesepakatan tahun 2006 karena melihat begitu maraknya bertumbuh gereja-gereja aliran pentekosta. Mereka marah karena Gereja-Gereja dianggap tidak menyepakati keputusan tahun 1996. Tahun 2006 akhirnya satu gereja dibakar oleh massa dengan alasan tidak menghargai masyarakat yang mayoritas karena mereka mengadakan KKR sehingga membuat ribut. Akibat dari peristiwa itu dan juga mengantisipasi pertemuan tahun 2006, para pengurus Gereja stasi Mandumpang agar kami membatalkan pernjalanan ke tempat mereka. Namun kami tetap berangkat sesuai dengan jadwal, tetapi demi keselamatan umat, kami tidak merayakan Ekaristi, bahkan kami masuk pada menjelang malam hari, langsung ke rumah pengurus Gereja dan di sana kami mengadakan pendalam iman dengan memutar film rohani. Baru pada pagi harinya kami menuju stasi Penanggalan dan di sana kami merayakan perayaan Ekaristi. Di stasi ini tetap bebas merayakan ibadah hari minggu. Namun pada tahun 2006 juga, atas anjuran umat, kami diminta supaya tidak usah mengunjungi umat yang di stasi Penuntungan, karena ada yang menghembuskan issu kristenisasi. Demi umat, kami mengikuti saran umat. Karena itu, praktis kami tidak merayakan Ekaristi di stasi Mandumpang dan Penanggalan selama tahun 2006. Tetapi umat tetap merayakan ibadat hari Minggu, meskipun dengan diam-diam. Tahun 2006 berlalu, dan tidak terjadi apa-apa, suasana mulai aman dan tenang, demikian hingga sekarang.
IMAN KATOLIK YANG SUNGGUH LUAR BIASA
Kata-kata itulah yang bisa kami simpulkan dalam pengalaman mereka. Sungguh mereka menjadikan iman katolik menjadi bagian dari hidup mereka, mereka tidak mau berpaling dari iman mereka walaupun mendapat tantangan dan tekanan berat. Sungguh Roh Kudus berkarya atas mereka, menjadi kekuatan yang luar biasa yang membuat mereka tetap bertahan dalam iman, membuat mereka tetap bijaksana dalam menghayati iman mereka. Padahal mereka umumnya orang-orang sederhana dan miskin. Bahkan kalau kita tanya mereka apa itu iman katolik dan mengapa mereka mejadi Katolik dan tetap menjadi katolik, pasti mereka tidak tau jawabannya. Tanpa sadar mereka menghayati keyakinan bahwa iman bukan sekedar untuk dimengerti dan dipahami tetapi untuk dihayati Mereka juga menyadari bahwa dalam kesederhanaan dan kemiskinan mereka, mereka menjadi kaya karena Roh Kudus mempunyai peluang besar berkarya dalam hidup mereka. Keteguhan iman mereka juga terpancar dari sambutan mereka bila dikunjungi. Mereka sungguh merindukan sapaan dan kunjungan apalagi sangat merindukan ekaristi. Rasanya beda halnya di daerah yang tidak ada tantangan, kunjungan imam dianggap biasa-biasa saja, bahkan tidak ada kerinduan pada perayaan ekaristi. Pernah sekali waktu dalam perjalanan ke sebuah stasi ada orang yang minta numpang. Di dalam mobil dia mengaku katolik, dia berpakaian rapi. Waktu itu pikiran kami beliau mau ke Gereja karena sudah berpakaian rapi. Eh tidak tahunya dia minta diturunkan sebelum sampai di Gereja, dan ketika ditanya mengapa turun karena gereja belum sampai, beliau menjawab bahwa dia mau ke pesta bukan mau ke gereja.
SALAH SATU DAERAH EVANGELISASI
Selain daerah Kabupaten Pakpak Bharat, ketiga stasi yang ada di Aceh Selatan kami jadikan sebagai daerah Evangelisasi. Evangelisasi tentu bukan dalam arti pewartaan iman akan Yesus Kristus, tetapi dalam arti sapaan untuk memperdalam, meneguhkan dan mempertahankan iman akan Yesus Kristus yang telah mereka anut. Kami sudah sering mengunjungi mereka. Hanya sejak tahun 2009 ini kami membentuk tim Evangeliasi khusus bagian Pak-pak Bharat dan Aceh.
Bapak Yohanes Kola Keraf lagi memberi Pembinaan
Tim ini kami beri nama ARKEMO, dari bahasa pak-pak yang artinya MARILAH atau MARILAH KALIAN SEMUA. Semula tim ini berjumlah 15 orang yang dibagi dalam 3 kelompok. Namun akhirnya hanya 5 orang yang akhirnya sungguh memberi hati.
Kali ini ARKEMO mengadakan pembinaan ke daerah Aceh Selatan ini. Mereka terdiri atas Bapak Santus Barasa, Bapak Yohanes Kola Keraf, Bapak Gideon Cibro dan Saudara Sarden Sihotang. Mereka berangkat dari Sidikalang pada hari Sabtu tanggal 30 Mei 2009. Dalam tim ini, bapak Santus Berasa dan Bapak Keraf berperan sebagai Pembina, Saudara Sarden menjadi operator tekhnik, karena biasanya akan diputarkan Film Rohani dengan menggunakan in Focus. Bapak G. Cibro berperan sebagai juru mudi dan juru kunci dalam arti supir dan sekaligus pembuka jalan masuk ke daerah
Bapak Keraf dan bapak G. Cibro lagi menggoda bapak Santus Barasa yang tidur mengorok….
Evangelisasi karena beliau adalah orang pakpak asli dan beliau inilah anak sulung laki-laki dari bapak Ndelling Cibro. Pada malam hari, tim ini memberikan pembinaan kepada umat di stasi Penanggalan. Umat begitu antusias mendengarkan penjelasan dan pembinaan mereka sehubungan dengan iman Katolik. Umat juga diberi kesempatan untuk bertanya dan banyak hal yang mereka tanyakan sehubungan
dengan iman katolik, juga dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam Gereja Katolik. Umumnya umat hanya sedikit mengetahui akan iman dan aturan dalam Gereja Katolik. Hal ini bisa dimengerti karena mereka masih jauh dari pembinaan Gereja Katolik, karena memang jarak mereka dari paroki sangat jauh. Walau mereka jarang dikunjungi, mereka tidak mengeluh. Oleh karena itulah, setiap di sapa dengan dikunjungi oleh imam bahkan oleh pengurus Gereja yang dari paroki, mereka sangat senang. Penyambutan mereka kepada pastor dan pengurus Gereja yang dari paroli tidak jauh berbeda, yakni penyambutan yang penuh kegembiraan, penghormatan dan rasa terima kasih. Dalam pertemuan juga diadakan syaring iman dalam hidup sehari-hari. Tim malam harinya menginap di salah satu rumah umat, malam ini seperti biasanya mereka menginap di rumah bapak Ginting.
Pagi hari pada hari Minggu 31 Mei 2009, pastor Antonius Manik O.Carm menuju Stasi Penangglan menyusul tim yang sudah terlebih dahulu ke sana. Kali ini pastor mengendarai mobil Kijang Avanza pinjaman dari salah seorang umat paroki, karena mobil Rocky punya paroki sudah dipakai oleh tim. Perjalanan kali ini lebih istimewa karena terdiri dari 2 rombongan dengan 2 kendaraan, apalagi kali ini ikut dalam rombongan 4 orang suter KSSY. Pada pelayanan kali ini pastor berani mengajak sustr ikut serta, karena memang dirasa sudah sedikit aman, dan kebetulan juga ada suster yang ingin ikut serta. Sebelumnya pastor tidak berani membawa suster untuk ikut serta, karena situasi belum aman sehingga kehadiran suster yang memakai jubah tidak tidak terlalu mencolok bagi masyarakat sekitar. Walaupun dirasa sudah sedikit aman, pastor tetap juga mengajnjurkan agar sleyer para suster ditutupi dengan kain sehingga layaknya seperti Jilbab. Rombongan ini berangka dari sidikalang puluk 7.30 pagi dan tiba di Penanggalan jam 9.45. Sesampai di penanggalan, pastor membagi tugas, 2 orang suter yang ditemani saudara Sarden Sihotang tinggal di Penanggalan. Suster diminta untuk memberi renungan dan membagikan Komuni Suci yang sudah dibawa pastor dari Sidikalang, dalam ibadat yang dipimpin oleh pengurus Gereja.
Sesudah itu, pastor meluncur ke Stasi Mandumpang, di sana 2 orang suster tinggal dengan 1 orang ibu anggota tim dan tugs mereka sama seperti yang di Penanggalan. Namun karena di stasi ini menggunakan bahasa Pakpak, maka suster yang memang suku pakpak bersedia untuk sekaligus memimpin dalam ibadat umat. Kemudian pastor bersama bapak Santus Barasa, Bapak Keraf dan bapak G. Sibro meluncur ke stasi Sibagindar dengan menggunakan mobil Rocky, karena jelan yang hendak ditempu hanya bisa ditembus dengan mobil Rocky. Dari Stasi Mandumpang ke Sibagindar jaraknya 1 jam perjalanan. Sesampai di stasi Sibagindar, pastor disambut dengan penuh kegembiraan, bahkan sejak dari perbatasan Aceh da pakpak Bharat satu orang mudika dengan mengendarai sepeda motor menyambut rombongan pastor, menuntun jalan, mungkin takut pastor tersesat. Di stasi Sibagindar pastor merayakan Ekaristi dan pada perayaan Ekaristi tersebut diadakan baptisan bayi dan penerimaan resmi( 3 bayi yang dibaptis, 3 orang dewasa yang diterima resmi dalam pangkuan Gereja Katolik( 2 diantaranya pemuda da 1 orang bapak-bapak).
Pada Pastor walau lelah tetapi masih tersenyum di tengah-tengah umat. Rasa lelah dikalahkan oleh iman dan kasih.
Puji Tuhan pada saat tersebut umat bertambah 1 keluarga. Pertambahan umat memang tidak seberapa tetapi karya Roh Kudus selalu nyata walau seakan kecil bila dipandang dengan mata manusia. Tapi bila kita melihat dari kaca iman, karya Roh Tuhan sungguh besar atas mereka, karena walau hanya sedikit mereka tetap bertahan dan hidup dalam iman Katolik di daerah terpencil dan di tengah maryoritas yang penduduknya adalah Protestan. Kegembiraan perayaan saat itu diteruskan dengan makan bersama di rumah salah seorang umat yang anaknya di baptis yakni bapak Laster Manik. Dia mengharapkan pastor makan di rumah beliau dan bersyukur karena beliau sudah dikarunia Tuhan 2 anak yakni putra dan putri. Bagi orang Batak ini dianggap suatu kegembiraan besar karena keluarga itu dianggap sudah sempurna karena suda punya putra dan putri (nunga maranak dohot marboru). Bapak ini sungguh berharap agar pastor mau singgah dan makan di rumahnya, sampe-sampe dia tanyakan pada pengurus Gereja, “Mau ngak pastor singgah ke rumah saya dan makan di rumah saya?” Beliau dulunya dari Gereja Batak Pakpak Dairi, diresmikan dalam Gereja Katolik pada tahun 2006. Keluarganya merupakan satu-satunya yang katolik dalam keluarga besar mereka. Beliau punya pengalaman unik akan iman Katolik. Ntar lain kali akan kami bagikan kepada para saudara. Rombongan pastor singgah di rumah keluarga bapak Laster Manik, makan bersama dengan keluarga besar mereka dan undangan lain. Pengalaman menarik, dia begitu senang karena pastor mampir di rumahnya dan dengan bangga memperkenalkan pastor kepada keluarganya dan kepada undangan. Dari hal yang kecil ini terpancar suatu pencerahan iman bahwa kunjungan, kehadiran seorang pastor maupun sesama seiman dalam rumahdan mau makan bersama di rumah seiman sudah menjadi suatu peneguhan iman yang tidak membutuhkan kata-kata. Iman hendaknya dirayakan juga dalam kebersamaan dalam hidup sehari-hari.
KEGEMBIRAAN DAN PELAYANAN
Kedua kata tersebut di atas tentu hendaknya saling berkaitan. Kegembiraan hendaknya juga menjadi dasar dalam pelayanan. Artinya pelayanan itu hendaknya dilaksanakan dengan kegembiraan dan sukacita iman. Sebab kalau tidak, pelayanan itu hanya sebagai tindakan social atau rutinitas yang membosankan. Juga judul di atas berarti, Pelayanan hendaknya melahirkan kegembiraan. Sebab kalau ternyata pelayanan itu tidak mendatangkan kegembiraan bagi si pelayan dan yang dilayani, tentu kegiatan itu jadi hambar. Agar pelayanan itu menghasilkan kegembiraan, tentu si pelayan hendaknya mendasari pelayanannya dalam iman dan kasih kepada Yesus yang diwujudkan dalam melayani sesama, melihat sesama yang dilayani adalah sesama citra Allah.
Kiranya hal ini yang terpancar dalam tim ARKEMO ini. Tim mengalami kegembiraan juga yang dilayani. Rombongan pastor turun gunung dari Sibagindar menuju stasi Mandumpang, bertemu dengan 2 kelompok para suster di sana. Rombongan pastor tiba di Mandumpang pada pukul 3.45 sore. Masing-masing kelompok berkumpul di rumah pengurus Gereja Stasi
Mandumpang, semua berbagi pengalaman dan suka cita menyelimuti pelayanan kali ini. Masing-masing rombongan berceritera bahwa setelah ibadat selesai, umat tidak langsung pulang tetapi diteruskan dengan pendalaman iman. Umat yang dilayani bergembira dan berharap agar kunjungan yang demikian tidak hanya sekali ini saja.
Atas kesepakatan bersama, rombongan tidak langsung pulang ke Sidikalang, tetapi diteruskan ke singkil menuju pantai Gosong. Rombongan yang terdiri atas 2 mobil yang salah satunya dikendarai oleh pastor, berangkat ke pantai Gosong untuk sekedar melepas lelah, bergembira bersama sehabis pelayanan yang memang melelahkan. Rombongan makan malam di rumah satu keluarga yang bukan katolik, mereka beragama GKPPD tetapi mereka sangat senang dan terbuka menerima rombongan para pastor. Mereka yang satu-satunya keluarga Kristen di Singkil, begitu senang bila dikunjungi umat Kristen tanpa peduli Kristen mana. Bahkan ketika terjadi Gempa Nias dan Tsunami di Aceh, mereka menjadi posko sementara, tempat singguh tim relawan VIVAD maupun PADMA maupun relawan-relawan yang dalam naungan Gereja. Akhirnya rombongan ini berangkat dari Singkil menuju Sidikalang pada pukul 8 malam.
IMAN DAN PELAYANAN
Iman tentunya tidak hanya seputar Altar, tetapi juga harus diwujukan dalam kerelaan melayani. Dalam pelayanan menuntut suatu pengorbanan, baik itu waktu, tenaga, pikiran dan juga materi. Pelayanan ini meliputi semua pengorbanan tersebut, juga tentunya dalam hal materi, karena jelas untuk transportasi 2 kendaraan membutuhkan minyak yang banyak, sekitar 400 ribu rupiah sedangkan kolekte yang dibawa tidak sampai 100 ribu rupiah. Tapi itulah pelayanan.
Dalam perjalanan pulang ke Sidikalang, jiwa pelayanan tim juga ‘diuji’ karena bapak yang punya rumah tempat kami makan malam menelpon kami dan meminta kami mampir ke rumah keluarganya yang sedang sakit. Keluarganya bukan beragama Katolik tetapi meminta kami mampir dan mendoakan keluarganya yang sedang sakit. Rombongan dengan senang hati melayani permintaan mereka dan pastor dengan senang hati mendoakan si sakit. Sesudah selesai dari situ rombongan kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Sidikalang dan akhirnya tiba di Paroki Sidikalang pukul 01.30 dini hari. Pelayanan yang melelahkan tetapi penuh suka cita.
PENUTUP
Sebagai penutup dari cerita kami ini, kami tidak perlu memberi kesimpulan, tetapi silahkan para saudara renungkan sendiri dari apa yang kami coba bagikan. Mungkin hanya sedikit yang mau kami sampaikan sebagai permenungan bersama dan harapan dari umat katolik yang ada di Serambi mekkah:
- Mereka adalah umat Katolik yang sederhana, mereka juga saudara kita seiman, mereka berjuang tetap bertahan dalam iman katolik yang telah mereka anut.
Maukah para Saudara membantu mereka agar tetap bertahan dalam iman katolik dan setia pada iman itu, yakni dengan mendoakan, dan juga rela berbagi suka cita iman, suka cita berkat dengan mereka?
- Mereka butuh doa, juga butuh sapaan dari sesama umat katolik dan dan saat ini juga mereka yang di Stasi Penanggalan membutuhkan uluran kasih dari sesama umat katolik untuk merehap bangunan Gereja mereka yang saat ini sedang direhap. Umat Katolik yang hidup di tengah-tengah kelompok mayoritas tentunya iman mereka akan semakin dikuatkan bila juga mendapatkan sapaan dari sesama umat katolik. Bila Para saudara umat Katolik mau menyapa mereka dengan memberikan sesuatu, silahkan klik di sini!
TERIMKASIH ATAS KUNJUNGAN PARA SAUDARA