KEBUN KARET MASYARAKAT DI PURBATUA, KEC. BARUS UTARA
(Tulisan ini disadur dari Milis CMVE)
Rabu, 16 Desember 2009.
Membaca surat itu, dimana kepada saya disangkakan melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, tidak bisa saya pungkiri, saya agak heran sertamerta terkejut. Alasannya, pertama, saya merasa tidak pernah melakukan satupun unsur pelanggaran yang disebutkan dalam surat. Kedua, saya merasa tidak pernah memiliki segenggam tanah apalagi sebidang tanah untuk diusahai sehingga saya dianggap sebagai menggunakan tanah secara tidak sah. Ketiga, saya pada dasarnya sangat mencintai lingkungan hidup yang sehat dan hutan alam yang rimbun. Bahkan jika saja diijinkan, ingin rasanya saya menghijaukan bukit-bukit yang gundul gersang di Tapteng. Kalau seandainya bisa dihitung kembali, mungkin sudah ribuan pohon yang saya bibitkan sendiri, kemudian kubagikan ke warga di kampung-kampung untuk mereka tanami dimana saja bisa ditanami. Saya sendiri, sudah
menanam banyak tanaman pohon dari berbagai jenis.
Paling mengejutkan saya lagi adalah penetapan status saya sebagai tersangka. Dari segi proses hukum saya tidak tahu pertimbangannya apa. Saya merasa tidak pernah diperiksa secara resmi dimana dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pernah dua orang dari POLDA Sumatera Utara, satu bermarga Manurung dan yang lain Butar-butar, datang ke tempat saya di Guest House St. Kristoforus Jl. FL. Tobing 17 Sibolga, yang dibawa oleh Kasatreskrim Polres Tapteng J.O Pasaribu. Pada kesempatan itu, kami ada berlima duduk bersama di meja yang disusun empat segi di ruang tamu. Mereka bertanya tentang keterlibatan saya pada pekerjaan penanaman karet di Purbatua. Saya tidak menganggap perbincanangan itu sebagai bagian pemeriksaan. Sebagaimana halnya dikatakan oleh J.O Pasaribu, ketika mengontak saya untuk bisa ditemui, hanya sekedar bincang-bincang. Saya tidak menandatangani apapun saat itu. Yang bermarga Butar-butar, sebelum meninggalkan tempat saya,
Masih meminta nomor hp saya dan berkata, “kalau menurut saya, apa yang Pastor buat, teruskan saja.
Karena baik itu untuk masyarakat,” katanya sambil bergegas menuju mobilnya. Maka saya sangat terkejut bila saya ditetapkan langsung sebagai tersangka. Dasarnya apa?
Kalau atas keterlibatan saya pada penanaman karet milik warga masyarakat Desa Purbatua dan Hutaginjang, Kec. Barus Utara itulah yang menjadi dasar pertimbangan Polisi menetapkan saya sebagai tersangka, dengan hati jujur saya mau mencariterakan di sini kronologi keterlibatan saya. Semoga dengan penuturan dengan penuh kejujuran ini, para pembaca yang budiman dapat melihat dengan benar dan objektif, kemudian menilai sendiri, apakah sangkaan pelanggaran Tindak Pidana itu tepat dikenakan pada saya. Saya mohon agar pembaca yang budiman juga berhati jujur melihat dan menjatuhkan penilaian. Bagi saya kasus ini penuh dengan rekayasa dan upaya kriminalisasi atas diri saya yang selama ini dengan giat melakukan penyadaran pada warga masyrakat agar hak-hak tanah mereka tidak dirampas oleh pihak yang tidak berhak.
2. Aktivitas Pemberdayaan dan Penyadaran
Dalam rangka menyikapi kasus-kasus penyerobotan tanah di Tapteng, saya banyak melakukan kegiatan penyadaran akan hak-hak sumber penghidupan, khususnya masalah tanah, di tengah masyarakat di Tapteng. Dalam kegiatan itu saya kerap menjelaskan, salah satu cara untuk mengamankan tanah dari penyerobotan, selain daripada membuat surat tanah, juga mengusahainya secara aktif. “Tanamanlah sesuatu, yang bisa jadi bukti bahwa kau pernah menguasai dan
mengusahainya,” anjurku sering kepada mereka.
Buah dari kegiatan itu, banyak masyarakat yang sudah mengusahai kembali lahannya yang sudah lama ditinggal, dengan menanaminya dengan berbagai tanaman keras. Tapi upaya mereka dalam mengusahai kembali lahannya, juga menghadapi masalah ketidakmampuan permodalan. Kalau kembali mengusahai lahan dengan cara yang lama, akan tetap kembali terulang: tanpa hasil alias gagal.
Akan kembali menjadi lahan tidur.
Salah satu kelompok warga masyrakat dari Desa Purbatua, yang diwakili oleh Robinson Tarihoran, datang menemui saya dan membawa permohonan atas nama 112 KK warga yang sudah memprakarsai Kelompok Tani yang diberi nama: “Rap Martua”, yang artinya “Sama-sama Bahagia”. Mereka mengajukan surat permohonan No. 01/KTR/03/09, tertanggal 11 Maret 2009. Dalam surat permohonan itu disebutkan, a.l memohon bantuan agar tanah mereka dijadikan kebun karet dan masing-masing Anggota KT-RM memiliki lahan sendiri. Menurut keterangan Robinson, yang kemudian diferivikasi kepada masyarakat setempat, tanah itu sudah diusahai oleh orangtua bahkan kakek mereka sejak puluhan tahun. Dari beberapa surat tanah yang disertakan dalam surat permohonan itu kelihatan, sudah ada warga yang mengusahai lahan itu sejak tahun 1941. Ditulis masih dalam ejaan lama: doeloe. Dalam daftar nama yang terlampir itu, tercantum luas tanah yang mereka miliki yang seluruhnya 190,5 hektar.
3. Gambaran Lahan
Kunjungan pertama saya ke lokasi, Sabtu, 8 Maret 2009. Setelah melihat lokasi, baru saya katakan kepada mereka ada kemungkinan dibantu, tetapi harus dibuat surat permohonan. Dari pengamatan saya, lokasi berada di balik bukit yang mengitari desa Purbatua. Dengan jalan kaki naik turun bukit, dengan kecepatan normal jalan kaki dibutuhkan waktu 1.5 jam mencapai lokasi itu. Lokasi itu sendiri ada pada posisi lembah dikelilingi bukit. Tidak ubahnya seperti di dalam kuali.
Pada kunjungan pertama, saya langsung keliling lokasi dan membuat rekaman handycam areal. Kesan saya, tanah itu sebagian adalah kebun karet rakyat yang sudah berumur 50-an tahun. Sebagian ada pohon karet sebesar pergelangan kaki, berbaris, tampak sengaja ditanam dulunya. Tampak kurang subur. Saya tanya sudah berapa tahun umur karet itu, sudah 9-10 tahun. Tapi gak mau besar-besar, masih tetap sebesar pergelangan kaki. Kurang terurus. Bagian paling luas, ditumbuhi semak gersang, ilalang, tetapi ada juga batang-batang pepaya, durian, petai, kelapa, bahkan ada “rumah” yang masih utuh bagus, layak huni. Tapi penghuninya tidak lagi di situ. Segerombolan kerbau masih diangon di lokasi itu. Pondok tempat kami mengadakan pertemuan dengan warga itu sendiri dilatarbelakangi
kandang kerbau.
Kalau diamati dengan cermat, 80 % lahan bukan terdiri dari hutan, melainkan semak gersang. Menurut keterangan warga, kegersangan itu diakibatkan oleh beberapa kali kebakaran hutan di masa lampau. Selain itu kerbau yang diangon di situ selalu memakan rumput kecil, sehingga tidak sempat besar. Tidak banyak kayu ukuran besar. Kalaupun ada, paling se-ukuran besar paha, yah satu-satu lebih besar sedikit. Maka kalau dikatakan ada penebangan kayu, kayu apa yang ditebang?
4. Diketahui dan Disetujui Uskup
Membaca proposal itu, saya punya hasrat membantu mereka, dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Namun saya sadari saya tidak bisa berbuat lebih banyak bila saya sendiri, tanpa dukungan dari lembaga gereja, dalam hal ini Keuskupan Sibolga atau pihak lain. Sadar akan hal itu, saya menghadap Bapak Uskup, Mgr. Dr. Ludovicus Simanullang guna membicarakan surat permohonan masyarakat tersebut. Setelah mendapat penjelasan, Bpk Uskup sangat antusias, lalu Uskup menyetujui permohonan itu dengan ketentuan, saya diminta tetap memperhatikan jalannya pekerjaan itu. Saya menyanggupi harapan Bapak Uskup. Dana yang dipakai untuk ini adalah dana sosial yang memang diperuntukkan membantu masyarakat di bidang pertanian. Jadi tidak benar issu yang dihembuskan oleh oknum-oknum Pejabat Pemkab Tapteng, yang mengatakan bahwa saya secara pribadi punya lahan dan melakukan kegiatan investasi di bidang perkebunan karet di Molhum, Desa Purbatua.
5. Kenapa Pekerjaan Warga Ini Perlu Didukung
Setelah melihat keadaan lokasi yang begitu gersang, saya semakin termotivasi membantu warga agar mewujudkan segera pertanian karet. Bahkan saya berpikir untuk menghutankan lereng-lereng bukit yang mengitari lokasi itu. “Itu jangan dibabat, nanti kita tanami dengan pohon mahoni,” anjurku kepada warga. Tapi Robinson menjawab, “di situ sudah karet rakyat itu, Pastor”, katanya. “Tapi di atasnya itu kan tidak. Itu kita tanami pohon nanti, jangan diganggu itu,” desakku. Kenapa pertanian karet untuk rakyat di lokasi ini perlu segera didukung, inilah sebenarnya alasan yang terkandung di
benak saya setelah melihat keadaan lahan itu:
- Bagi warga anggota KT-RM khususnya dan petani karet umumnya jelas proyek ini akan membawa dan meningkatkan kesejahterakan bagi mereka. Itu sudah pasti.
- Issu lingkungan hidup dan penghijauan. Tanah gersang seperti lahan Molhum ini memang sangat perlu untuk dihijaukan. Dan cara untuk itu adalah penanaman pohon. Dan membuat kebun karet adalah pilihan tepat. Beberapa alasan berikut bisa dikemukakan: masyarakat sendiri terlibat dalam penghijauan itu (menanam dan memelihara), tidak perlu gembar-gembor menanam “seribu pohon” yang habiskan menghabiskan dana, sementara hasilnya belum tentu ada. Mereka akan memelihara karetnya masing-masing sehingga proses penghijauan lebih terjamin dalam jangka waktu yang relatif
bisa dipastikan.
- Hak-hak mereka atas tanah itu tidak akan dirampas orang lagi. Di daerah agraris seperti Tapteng, tanah merupakan jaminan kesejahteraan hidup. Hak rakyat petani atas tanah harus dilindungi dari penyerobotan oleh investor yang sering berkoloborasi dan berkonspirasi dengan penguasa dalam
membodoh-bodohi rakyat petani.
Dari uraian di atas sebenarnya bisa disimpulkan ada tiga tujuan utama yang memotivasi saya membantu warga Purbatua ini, yakni: Kesejateraan rakyat, penghijauan, terjaminnya hak rakyat atas tanah. Maka saya tidak habis pikir bila saya disangkakan sebagai perambah dan pembakar hutan.
6. Kebun Karet Proyek Sosial Ketiga
Bukan ini pertama kali Keuskupan Sibolga melakukan proyek sosial di daerah ini. Penanaman karet di Molhum, Desa Purbatua ini merupakan proyek sosial ketiga di daerah Barus. Proyek pertama adalah proyek irigasi yang disebut “Bendungan Sitangkurak”, di Desa Pangaribuan, di sungai “Husor”. Proyek ini dibuat untuk mengaktifkan kembali irigasi yang sudah lama hancur yang mengakibatkan masyarakat sekitar Barus tidak bisa mengelola sawahnya karena tidak terairi. Proyek ini dilakukan oleh P. Leonhard Beichirge, seorang missionaris dari Sued Tirol. Dana untuk itu juga dari gereja. Sebenarnya pembuatan proyek ini awalnya hendak dilakukan dalam kerjasama dengan masyarakat sekitar sendiri. Namun kemudian, Pemkab Tapteng ikut nimbrung, menjanjikan dana sebesar Rp 125 jt. Padahal kemudian diketahui, menurut penuturan P. Leonhard ketika itu dana ini tidak semua cair. Yang diterima hanya kisaran Rp 87 jt. P. Leonhard sendiri mengeluarkan dana tidak kurang dari
Rp 325 jt. Sayang dalam laporan media waktu peristiwa peresmian, dipublikasikan, posisi partsipasi pendanaan justru terbalik: Keuskupan Rp 100 jt dan Pemkab Tapteng Rp 300 jt. Saat itu Keuskupan Sibolga tidak berminat sedikitpun mempermasalahkan kejanggalan itu. Yang penting masyarakat telah
mengolah sawahnya kembali, hasil sudah dicicipi warga.
Proyek kedua adalah proyek jembatan tsunami, pelabuhan atau dermaga perahu nelayan dan alat-alat tangkap ikan di Aek Busuk, Desa Lobutua, Kec. Andam Dewi. Proyek ini terkait dengan program rekonstruksi dan rehabilitasi korban tsunami, 26 Des 2004. Sebenarnya tidak ada dana dianggarkan untuk rehabilitasi di daerah Tapanuli Tengah, tapi saya selaku Direktur Eksekutif Caritas Keuskupan Sibolga ketika itu berhasil mengarahkan perhatian dan meyakinkan mitra kerja kami dari Caritas Austria. Proyek itu sangat berguna bagi masyarakat. Mereka menyetujui proyek rehabilitasi di Tapteng yang keseluruhannya menelan biaya lebih kurang Rp 500 jt itu. Proyek ini tidak dilakukan oleh Caritas Keuskupan Sibolga, tetapi juga – justru itu yang paling berharga – masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orangtua bergotong royong membangun jembatan ini. Saya bangga sekali dengan anak-anak kecil dan manis yang merasa begitu membutuhkan jembatan ini ikut berpartisipasi. Setiap
kali mereka lewat dari jembatan itu - pergi dan pulang sekolah - mereka membawakan satu dua batu di tangan dan meletakkannya di tumpukan batu yang sedang orangtua mereka kerjakan secara gotong royong.
Alasan kenapa saya berusaha menarik perhatian mitra kami Caritas Austri untuk membangun jembatan dan membantu para nelayan di sana, tidak lain karena saya menerima laporan bahwa dua bulan setelah tsunami, tidak ada siapapun, baik organisasi termasuk Pemkab Tapteng datang memberi bantuan kepada mereka. Padahal jembatan kayu yang mereka bangun secara gotong royong sudah ambrol, anak-anak setiap hari harus naik perahu menyeberangi Aek Busuk bila mereka hendak pergi
Ada permintaan dari Bupati Tapteng Drs Tuani Lbn Tobing, Msc agar pembangunan jembatan dilakukan dengan kerjasama dalam pendanaan. Tetapi bupati juga mengusulkan satu jembatan besar sekalian, sampai kapasitas mencapai tonase truck besar. Karena pertimbangan Caritas telah menyanggupi dananya dan tentu saja juga karena khawtir kasus pendanaan proyek “Bendungan Sitangkurak” terulang, saya menolak untuk kerjasama di bidang pendanaan.
Rancang bangun jembatan yang panjangnya 116 meter lebar 2.10 meter terbuat dari beton bertulang dengan sistim sambung perbagian dan diperhitungkan tahan gempa hingga 7 pada schala rechter. Juga dipertimbangkan kelestarian alam dan kebutuhan masyarakat nelayan. Jembatan bisa diperpendek menjadi hingga hanya 75 m, tetapi sungai akan sebagian tertimbun dan masyarakat yang bermukim di “pulau delta” itu tidak mendapat akses masuk secara leluasa. Atas pertimbangan ekosistem dan lingkungan sungai itulah jembatan dibuat sedemikian panjang. Apakah masuk akal, saya dituduh tidak mempertimbangkan aspek lingkungan dan kelesatarian alam dalam membantu warga Purbatua.
7. Kesepakatan Dengan Warga
Pada kunjungan pertama di Molhum itu kami juga membicarakan hal-hal yang terkait dengan kesepakatan agar permohonan bisa dipertimbangkan untuk dikabulkan. Pada kesempatan itu kami meminta kepada Robinson Tarihoran agar juga menghadirkan warga yang menjadi anggota KT-RM. Inilah kunjungan saya yang pertama di lokasi itu. Saya dengan warga yang jumlahnya sekitar 40 orang itu berbincang-bincang bersama di salah satu pondok warga di lokasi itu. Pada kesempatan itu kami berhasil membuat kesepakatan lisan berikut:
- Masing-masing warga KT-RM mengolah tanahnya sendiri.
- Batas masing-masing dengan lawan batasnya dijelaskan, tidak boleh ada sengketa batas. Tanahnya tidak akan ditanami karet jika mereka bersengka batas.
- Keuskupan tidak mau menyediakan bibit untuk satu orang dengan luas tanah lebih 2 hektar.
- Bagi mereka yang punya luas lahan lebih dari 3 hektar, diminta agar bersedia membagikan sebagian lahannya itu kepada warga atau keluarga/kerabatnya yang tidak punya lahan. Keuskupan tidak hendak membantu orang kaya tetapi orang yang lebih membutuhkan.
- Keuskupan bertanggungjawab menyediakan bibit, hingga siap tanam dan melakukan pemeliharaan (pemupukan) hingga berproduksi.
Inilah kesepakatan- kesepakatan yang kami buat ketika itu. Jadi saya atas nama Keuskupan Sibolga tidak pernah berpikir untuk membeli tanah warga. Ada juga usul masyarakat, agar ada bantuan untuk kebutuhan rumah tangga, agar asap dapur tetap mengepul. Pertimbangannya, bila mereka mengolah lahan itu, mereka terpaksa meninggalkan pekerjaan lain seperti menderes, bisa terbengkalai memenuhi kebutuhan dapur. Memang pada saat itu perekonomian sangat sulit. Mereka mengusulkan Rp 800 rb per hektar. Usul ini masih harus dipertimbangkan, namun agar mereka bisa membeli parang dan alat-alat yang dibutuhkan mengolah lahannya, Keuskupan menyanggupi memberikan Rp 200 rb per KK
dulu agar langsung bisa bekerja.
8. Jalannya Pekerjaan Pemberian Bantuan
Sejak dimulai pekerjaan pertanian karet di Molhum ini, saya hanya dua kali menginjakkan kaki di lokasi. Pertama, sewaktu kami mengadakan kesepakatan dengan warga, Sabtu (8/3/2009), Kedua, dua minggu lalu, Sabtu, 5 Desember 2009. Kunjungan kedua ini saya lakukan perlu karena akhir tahun, saya biasanya memberikan laporan kepada Uskup pada akhir tahun. Terus terang saya tidak punya waktu untuk sering ke sana. Namun saya tetap pantau dan saya ikuti perkembangan dengan mencermati progres pekerjaan berdasarkan informasi dan laporan Robinson Tarihoran yang sudah diangkat warga menjadi ketua KT-RM dan kemudian saya hunjuk menjadi koordinator. Saya percaya pada masyrakat, mereka pasti melakukan yang baik karena mereka bekerja untuk mereka sendiri.
Begitu kesepakatan dibuat, dua minggu kemudian, saya sudah melakukan pemesanan bibit karet “mata tidur” ke perkebunan di Ser Belawan. Bibit karet ini masih baru diokulasi, masih belum siap tanam. Begitu sampai bibit di Purbatua, warga masih mengangkutnya ke lokasi Molhum dengan memikul secara gotong royong. Mereka membagi-bagi menjadi pack-pack kecil agar tidak terlalu berat untuk dipikul satu orang. Semua dilakukan secara gotong royong, tanpa bayar. Peraturan yang disepakati di antara mereka, siapa tidak pernah ikut membawa bibit ke lokasi, penanaman di tanahnya akan belakangan. Karena itu pada umumnya mereka semua terlibat dalam pengangkutan bibit dan bahan-
bahan lain yang dibutuhkan.
Bibit “mata tidur” sebenarnya belum siap tanaman, masih harus ditanam di polybag dan tentu masih butuh perawatan: menyiram, memupuk, menyiangi rumput, dlsb. Semua itu dilakukan oleh warga Kelompok Tani. Namun khusus untuk pekerja 5-10 orang ini, karena mereka biasanya bermalam di Molhum, mereka mendapat uang makan Rp 30 rb seorang pe hari kerja. Saya memang mengatakan, biaya pembibitan termasuk pemupukan dlsb, hingga siap tanam menjadi tanggungjawab keuskupan. Kalau mereka tidak diberi uang makan, mereka lalu makan apa?
Melihat cara kerja ini, pekerjaan ini sebenarnya kan pekerjaan rakyat. Sama sekali tidak ada indikasi bahwa saya melakukan investasi di lokasi tersebut. Peranan saya hanya mengontrol, menyediakan alat-alat dan perlengkapan yang dibutuhkan. Dananya dari fund sosial Keuskupan Sibolga. Jalannya proyek kebanyakan warga sendiri yang menjalankan di bawah koordinasi Robinson Tarihoran dan teman-temannya. Maka kalau kehadiran saya di situ dituding sebagai investor, rasanya aneh. Apalagi saya disebut sebagai perambah dan pembakar hutan, kapan itu saya lakukan. Saya hanya dua kali ke lokasi. Dan siapa saksi yang sudah diperiksa dan ditahan, yang memberikan kesaksian saya pernah melakukan pengrusakan hutan. Rasanya sangatlah tidak tepat kalau saya begitu saja ditetapkan sebagai tersangka
perambahan dan pembabatan hutan.
Hingga sekarang, bibit yang sudah diserahkan 100.000 batang “mata tidur” dan sudah berumur antara 4-8 bulan di media pesamaian. Sebagian besar siap untuk ditanam. Sekitar 25 hektar dari 200 hektar, sudah dilobang tanam. Kemudian warga Purbatua geger dengan issu dari Pemkab. Tapteng, tanah mereka adalah hutan register. Betapa beratnya hidup menjadi orang kecil dan rakyat biasa daerah Tapteng ini.
9. Lokasi Molhum, Desa Purbatua di Luar Hutan Register
Apakah lokasi itu memang benar hutan register? Saya pastikan hal itu tidak benar. Sayapun tidak terlalu bodoh mau melakukan pelanggaran hukum hanya sekedar mau membantu orang, tanpa ada harapan adanya keuntungan pribadi saya. Melihat gambaran yang saya jelaskan di atas, kita bisa menarik kesimpulan berikut: Pertama, lokasi atau daerah itu, sudah lama di huni oleh penduduk, bahkan puluhan tahun lalu. Bangunan rumah masih ada di situ. Tanaman mengitari pemukiman penduduk, sangat jelas tampak. Tapi mungkin faktor keterpencilan dan tuntutan akan pentingnya pendidikan anak, menyebabkan keluarga itu pindah dari sana ke pesisir. Kedua, di arah puncak gunung, 8 km dari lokasi itu, masih ada perkampungan penduduk yang dikenal dengan nama “Huta Gugung”. Daerah ini dikenal sebagai sumber buah durian yang enak di sekitar Barus. Setiap hari Jumat dan Sabtu, warga Purbatua dan warga Huta Gugung banyak melewati lokasi, memikul karet mereka yang hendak dijual ke pekan atau ke toke karet. Dan yang paling memastikan adalah temuan patok batas hutan register itu sendiri. Warga sudah lama menemukan dua patok hutan lindung: satu bertuliskan BHL 308, berlokasi tempat yang dikenal masyarakat dengan nama Tombak Lalo, berjarak sekitar 10 km dari Molhum. Yang satu lagi bertuliskan BHL 312, berlokasi di tempat yang dikenal dengan Aek Gambir, berjarak kurang lebih 8km dari Molhum. Bukti-bukti ini sangat kuat memastikan
bahwa Molhum berada di luar areal hutan register.
Sebenarnya warga masyarakat sendiri sudah sejak awal mengingatkan personil dari POLDA Sumatera Utara, maupun dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tapanuli Tengah, akan adanya penemuan patok batas hutan register di atas gunung sana, masih jauh. Juga sangat disayangkan sikap tidak mau mendengar hati warga, setiap kali warga mengajak Anggota POLDA Sumatera Utara dan juga Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumut dan Tapteng, agar bersedia naik gunung ke lokasi dimana patok berada, namun mereka tidak pernah mengindahkan perkataan dan usul warga. Sepertinya mereka sudah punya tujuan dan keinginan sendiri yang harus dicapai, yakni menjerat saya dan Robinson
Tarihoran dengan kasus sekarang.
10. Komnas HAM: Pekerjaan Lahan Teruskan
Pada kunjungan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) ke Tapteng, Rabu (25/12) lalu, warga Desa Purbatua dan Hutaginjang mencegat perjalan Tim di Desa Sihorbo, Kec. Barus Utara. Mereka menyampaikan pengaduan mereka perihal tanah yang sedang dipersoalkan oleh pihak Pemkab. Tapteng. Robinson Tarihoran tampil sebagai pembicara warga, menceriterakan kronologi pengusahaan lahan itu mulai dari kakek dan orangtua mereka sejak puluhan tahun lalu. Lalu sekarang, demikian Robinsan, ada larangan dari Pemkab Tapteng, warga tidak bisa mengusahai lahan itu dengan alasan masuk kawasan hutan register. “sejak dari dulu kakek/nenek dan orangtua kami sudah mengusahai lahan itu. Tidak pernah diketahui orang di situ hutan register. Batas Hutan register masih jauh di atas gunung sana, kenapa sekarang dikatakan itu hutan register?” kata Robinson mempertanyakan.
Menanggapi pengaduan itu, Johny Nelson Simanjuntak yang didampingi oleh Husendro mengatakan, bila memang sejak dari dulu kawasan itu pasti tidak masuk kawasan hutan register kenapa sekarang jadi bermasalah. “Kalau memang sudah sejak lama dikelola dan sudah pasti ditemukan patok batas hutan register itu jauh dari lokasi itu, silahkan lanjutkan kerjakan lahan itu. Kalau ada yang melarang, nanti laporkan sama saya. Saya ini berbicara atas nama lembaga negara,” kata Johny menegaskan. Ketika itu hadir banyak intel-intel polisi. Pernyataan itu didengar juga oleh mereka. Bila tidak salah, ada intel juga yang merekam pernyataan itu dengan handycam.
Lalu kenapa sekarang ada kasus perambahan dan pembakaran hutan register? Apakah Kamnas HAM sebagai lembaga negara suaranya tidak dianggap apa-apa oleh Pemkab Tapteng dan aparat penegak hukum kita? Mohonlah kiranya agar dalam penanganan kasus-kasus menyangkut rakyat kecil, aspek-aspek hak-hak azasi itu dikedepankan oleh aparat penegak hukum kita.
11. Ada Investor Pilihan Pejabat Pemkab Tapteng Menginginkan Tanah Molhum
Bulan Juni 2008, dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Tengah pernah turun ke Molhum dan melakukan perintisan penentuan batas yang hendak dikelola seorang calon investor. Kepala Desa Purbatua mengetahui hal ini karena rumahnya menjadi titik kumpul ketika mau pergi ke lahan di Molhum. Pada waktu itu, Robinson Tarihoran diajak juga ikut melakukan perintisan. Perintisan dilakukan.
Nama-nama mereka yang terlibat ketika itu:
- Martin Simanjuntak
- Gulmok Tarihoran
- Robinson Tarihoran
- Damril Limbong
- Gohi Simanjuntak
Nama yang disebut terakhir adalah orangnya Bupati Drs. Tuani Lbn. Tobing ketika mereka melakukan penguasaan tanah warga di Sipaubat dan Desa Lobutua, Kec. Andam Dewi. Tidak lama setelah pengukuran itu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng turun juga ke lokasi dan mulai mengukur luas lahan. Menurut keterangan Robinson Tarihoran, luas tanah keseluruhan yang berhasil diukur dan hendak dikelola oleh investor mencapai 1.300 Ha. Suatu luas yang pantastis. Kalau ini sempat beralih ke tangan investor dengan model apa yang terjadi selama pemerintahan Tuani Lbn Tobing ini, bisa dipastikan bahwa warga Purbatua dan Huta Ginjang akan menderita di masa depan.
Melihat gelagat tidak baik itu, Robinson Tarihoran sering berkonsultasi kepada saya tentang tanah di Molhum. Ia sendiri punya sikap, dan tentu mengajak rekan generasi mudanya dan masyarakat, lahan di Molhum tidak akan pernah jatuh ke tangan investor yang dimasukkan Pemkab Tapteng. “Sudah banyak kita petik pelajaran yang tidak baik dengan kehadiran PT. Nauli Sawit,” kata Robinson.
Orang-orangnya Bupati sudah membaca gelagat dari Robinson yang tidak akan meluluskan rencana mereka. Robinson mulai dibujuk dan diiming-imingi banyak hal. Gohi Simanjuntak pernah membujuk dia agar mendorong masyarakat memberikan tanahnya untuk dikelola investor. Robinson menjawab dengan mengatakan, “kenapa kepada saya, apalah saya. Raja kampung dan pengetua kan masih ada,”. Juga kepadanya pernah ditawarkan, kalau lahan di Molhum jadi dikelola, ia akan mendapat bagian 10 hektar dan truk satu unit. Kembali Robinson memberikan jawaban dengan tidak terlalu serius, “kalau hanya sayanya makan apalah artinya itu”. Kepada Robinson juga pernah dianjurkan, bila membutuhkan sesuatu, agar pergi ke rumah calon investor itu yang disebutkan sebagai bermarga Pasaribu dan beralamat di Jln. Sisinga Mangaraja No. 30 Sibolga. Rupanya ancaman akan adanya penyerobotan inilah yang semakin mendorong keinginan Robinson membentuk kelompok tani dan memohon bantuan ke
Keuskupan Sibolga agar masyarakat mampu dengan segera mengolah lahan mereka.
Akibat sikap Robinson Tarihoran yang tidak mau diajak kerjasama mendukung kehadiran invstor itu, ia dan keluarganya sudah dijadikan target sasaran oleh “kelompok yang berseberangan”. Benar, pada hari Minggu, rumah orangtua Robinson, tempat dia tinggal, pada siang hari, pada saat orang mengikuti kebaktian di gereja, dibakar oleh orang yang tidak dikenal. Syukur rumah itu tidak sempat habis dilalap api. Kepulan asap pekat menyadarkan orang yang sedang duduk-duduk di kedai di belakang rumahnya. Mereka langsung memadamkan api yang sudah sempat menghanguskan lemari dan sudah mulai menjilat bagian atap rumah. Dari investigasi kami, cukup kuat keyakinan bahwa pelaku adalah bagian dari Kelompok yang membakar rumah Edianto Simatupang, seorang aktivis, yang juga korban penikaman
waktu Unjuk Rasa Damai di depan Kantor Gubernur di Medan.
Rupanya, Bupati merasa harus turun tangan untuk mendorong dan mempengaruhi masyarakat. Pada acara Pulang Bersama para Perantau yang berasal dari Desa Sihorbo dan Hutaginjang, Bupati hadir dan memberikan kata sambutan. Sebenarnya Panitia yang sudah dibentuk dari Jakarta, tidak terlalu mengharapkan dan tidak mendukung rencana kehadiran Bupati. Namun, “orang-orangnya” Bupati bersikeras agar Bupati diundang dan diberi kesempatan memberi kata sambutan. Memang betul, Bupati datang dan menyampaikan kata sambutan. Dalam kata sambutannya, Bupati mendorong masyarakat agar memberikan tanahnya dikelola oleh investor yang akan datang membawa modal besar, mumbuka lapangan kerja, dst..dst...dst. Ketika itu nyata sekali bagi warga yang hadir pada acara itu, Bupati Tapteng sangat berminat dengan lahan Molhum untuk diberikan kepada investor. Tetapi warga tetap
memilih, lahan itu hendak dikelola sendiri.
12. Penutup
Dari pemaparan apa adanya di atas, pembaca yang budiman pasti sudah mendapat gambaran mengenai aktivitas saya dikaitkan dengan issu perambahan dan pembakaran hutan register di Molhum. Saya persilahkan pembaca budiman mencermati dan merefleksikan, dan kemudian menilai apakah yang disangkakan itu benar dan tepat dikenakan pada saya. Jika seandainya lahan Molhum itu jadi diberikan kepada investor pilihan Bupati, maka persoalan menyangkut hutan register pasti tidak ada. Kuat keyakinan saya bahwa issu perambahan hutan register adalah kasus yang dibangkitkan tanpa bukti yang kuat. Tapi dengan tujuan yang jelas, Pertama, untuk masyarakat agar tidak mengusahai lahan ini, karena kecewa, investor pilihan tidak jadi menguasai dan mengusahai lahan itu. Kedua, menghentikan saya dalam kegiatan-kegiatan advokasi membela hak-hak rakyat, khususnya mereka yang tidak berdaya, korban kebohongan, dengan cara mengirim saya ke penjara.
Jadi kesimpulan saya, kasus ini direkayasa untuk mengkriminalisasi saya sebagai orang yang getol dan yang tidak mau surut dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat atas tanah warga transmigrasi dan para petani di beberapa kecamatan di Tapteng yang diserobot oleh PT. Nauli Sawit. Setelah pengaduan kami ke Komnas HAM mendapat tanggapan sirius, situasi panas dan gerah mewarnai jajaran pejabat Pemkab Tapteng, khususnya mereka yang terlibat dalam praktek penyerobotan tanah.
Tapi sungguh saya sayangkan, kenapa POLDA Sumatera Utara menanggapi laporan pihak Pemkab. Tapteng ini tanpa melakukan proses hukum yang wajar dalam menentukan saya sebagai tersangka. Kalau seandainya kasus ini ditanggapi secara profesional dan proporsional, saya yakin tidak akan seperti ini. Tampanya kembali perlu diulangi ajakan Presiden R.I Soesilo Bambang Yudhoyono, agar Polri, KPK dan Kejaksaan membenahi secara internal institusinya, yang dikemukakan pada saat menyampaikan sikap atas kasus cicak dan buaya. Apakah POLDA Sumatera Utara mendengarkan
seruan Presiden itu?
Demikian saya buat kronologi kasus dan gambaran keterlibatan saya di proyek sosial penanaman karet di Desa Purbatua dan Hutaginjang ini yang saya sampaikan dengan apa adanya, namun dipenuhi rasa
tanggungjawab. Semoga bermanfaat terutama bagi mereka yang kita bela.
Minggu, 13 Desember 2009
P. Rantinus Manalu, Pr
Ketua Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga